RASA
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Perempuan tua duduk tertunduk dalam diam. Jilbab panjangnya menjela sebagian
nyaris menutup wajahnya. Terpekur. Tak kuasa atas ketetapan Tuhan. Bahkan
lidahnya kelu tak mampu berucap. Baginya cukuplah mendengarkan titah kanjeng.
Di hatinya, Aryo anak bungsunya tidaklah
bersalah, semua hanya menjalankan perintah Allah yang berkenan mengirimkan rasa
cinta di setiap hati manusia terhadap manusia lainnya.
Tidak juga seorang kanjeng yang berdiri memandang ke jendela. Putrinya
memang berdarah biru tetapi ia adalah seorang gadis yang selayaknya bisa
merasakan jatuh cinta kepada seseorang. Pun kepada Aryo. Mereka dibesarkan
bersama. Sudah selayaknya benih cinta tumbuh di antara keduanya. Tak perlu dilakukan
intervensi apapun biar saja mengalir dengan indah, tanpa pelanggaran pada agama
dan norma budaya.
Perempuan tua itu masih belum beringsut, hingga dengan ujung matanya melihat
Seno berjalan ke arah pintu sambil berguman,
"pikirkan lagi perkataanku,
mbok. Kalian sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Jangan merusak
tatanan."
Tak ada yang lebih tepat kalimat yang keluar dari mulut simbok,
cukuplah "Sendiko kanjeng."
Tidak perlu berpanjang lebar dengan kata-kata pembenaran.
Perlahan Simbok mengangkat kepalanya dan mencoba beranjak, pandangannya
beredar ke antero taman. Tak ditemukan sosok yang dicarinya. Resah menyelimuti
seluruh relung. Apa maksud Kanjeng Seno dengan merusak tatanan. Bukankah
keduanya halal menikah secara agama.
Keduanya tak memiliki pertalian darah. Mereka hanya mendapatkan
pengasuhan di tempat, waktu dan pola kehidupan yang sama serta oleh orang-orang
yang sama.
****
Aryo pemuda berbadan tegap berkulit gelap, hidung bangir. Tergolong
rupawan diantara teman-teman kuliahnya. Adabnya sangat sopan. Tidak heran
karena dibesarkan ibunya di lingkungan keluarga yang masih memiliki keturunan
bangsawan. Aryo sejak kecil sudah menjadi yatim, ditinggal almarhum bapaknya
dan dibesarkan di rumah sederhana di belakang Pendopo Seno.
Kakak-kakaknya sudah berkeluarga dan masing-masing tinggal di tempat
yang berbeda-beda. Kakak pertama seorang perempuan bersuamikan pria dari tanah
seberang berdarah minang. Saat ini tinggal dan membuka usaha restoran padang di
pinggiran kota Jogja. Kakak kedua seorang pria yang menyunting perempuan sunda
dan tinggal di kota depok karena keduanya bekerja sebagai karyawan pabrik
tekstil. Kakak ketiga tinggal di Kota Solo bersama suami dan keluarganya yang
berasal dari Solo. Keduanya memiliki usaha sendiri berupa Toko Kelontong. Kakak
ke empat tinggal di Jambi. Kakak ke empat inilah seorang pria yang banyak
menginspirasi Aryo mempelajari pertanian. Mas Jaler biasa dipanggil. Memiliki
usaha perkebunan di Jambi. Sangat jarang pulang ke Jogja akan tetapi kemajuan
teknologi tak akan mampu menghalangi keterbatasan tempat ruang dan waktu.
Mereka sering berkomunikasi bertukar pikiran tentang banyak hal hingga
menimbulkan keinginan Aryo untuk banyak belajar tentang pertanian dan perkebunan.
Sejak dulu keluarga Aryo mengabdi pada keluarga Seno. Jauh sebelum Aryo
lahir. Kakek dan nenek Aryo pun sudah tinggal di sana. Dan Seno pun diasuh oleh
keduanya. Sebuah pertemanan keluarga yang sudah mengakar.
Seno adalah seorang ASN dengan jabatan Camat di wilayah itu. Istrinya
seorang wanita ayu yang kesehariannya menjadi ibu rumah tangga dengan kesibukan
sebagai ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan. Mulai dari membina kelompok
kerajinan ibu-ibu, majelis taklim, bhakti sosial dan lain – lain layaknya istri
seorang camat.
Lily, istri Seno adalah wanita yang sangat lembut dalam perilaku dan
bahasa. Sangatlah wajar bila darinya lahir Jingga. Gadis berparas jelita
gemulai dalam laku dan indah dalam berkata. Sejak duduk di Sekolah Dasar Jingga
dan Aryo satu sekolah bahkan sering satu kelas. Begitupun saat mereka di
Sekolah Menengah. Nyaris selalu satu kelas. Mereka berpisah saat berkuliah.
Jingga mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi sedangkan Aryo lebih memilih berkuliah
di Fakultas Pertanian. Keduanya sama-sama briliyan dan tanpa kesulitan
menyelesaikan kuliahnya d Universitas yang sama Universitas Gajah Mada.
Bagi Seno, Aryo sudah dianggap putra sendiri. Pasangan Seno yang turunan
bangsawan Jogja dan Lily hanya memiliki satu orang putri saja. Jingga.
Karenanya Seno menjadikan Aryo sebagai curahan keinginannya memiliki seorang
putra. Seluruh biaya hidup dan kuliahnya diberikan sebagai tanda sayang dan
cintanya serta wujud keterikatan keluarga yang sudah turun temurun terjalin.
Rasanya sulit untuk memposisikan
diri sebagai mertua. Rasa khawatir sesaat berkelebat tentang asumsi khalayak
jika semua terjadi. Seno masih terdiam, pembicaraan dengan Aryo terus terngiang
di telinganya, "Bopo Kanjeng," Aryo mengawali pembicaraan petang itu.
Panggilan Aryo kepada Seno sejak kecil. "Badhe matur" lanjut Aryo. Seno
merubah posisi duduk menghadap pada putra angkatnya. Aryo dengan sangat
perlahan menyampaikan niatnya untuk menikahi Jingga. Sahabat kecil hingga
dewasa yang selalu setia membersamai suka duka dalam perjalanan hidupnya.
Bagi Aryo, Jinggalah wanita impian yang akan menemaninya sepanjang usia.
Bahkan berharap hingga jannahNya Allah. Memberikannya anak-anak penerus
keturunan mereka. Begitupun Jingga. Tak satu orang pria pun pernah singgah di
hatinya kecuali Aryo. Pemuda yang merampas seluruh cintanya hingga membuatnya
tak mampu berada jauh darinya. Jingga merasa mulai ada sesuatu yang beda saat
duduk di bangku sekolah menengah pertama. Jingga tersenyum sendiri jika
mengingatnya bagaimana ia selalu gusar jika melihat Aryo berkelakar terlalu
dekat dengan teman wanita.
Belakangan Jingga menjadi paham bahwa itulah yang disebut orang sebagai
rasa cinta. Cinta antara seorang wanita dan pria dewasa, bukan cinta seorang
ibu pada anaknya atau cinta seorang adik kepada kakaknya. Perasaan itu terus
berkembang tumbuh dengan subur dan semakin indah. Mereka melaluinya dalam diam
hingga percakapan Seno dan Aryo petang itu membuat Seno berpikir keras karena
tak menduga sama sekali.
Lain halnya dengan Lily istrinya. Sejak lama wanita jawa nan halus itu
bisa merasakan apa yang tak diceritakan putrinya. Bagi Lily tak mengapa dan ia
membiarkan semuanya mengalir tak ingin mengusik hingga percakapan petang itu
terjadi. Lily tetap menyapa dan bersikap seperti biasa dengan simbok,
mendiskusikan menu dan belanja harian serta urusan rumah tangga lainnya. Lily
sangat mempercayai simbok. Perempuan itu sudah seperti kakak sendiri baginya.
Segala sesuatu sering dibahas bersamanya. Bahkan makanan atau masakan kesukaan
Seno pun Lily belajar dari simbok. Bagaimana tidak Seno kecil dulu simboklah
yang mengasuhnya. Simbok jauh lebih mengenal watak kepribadian Seno tinimbang
Lily istrinya. Di awal-awal perkawinan mereka, simbok sering menjadi juru
selamat karena masalah kesalah pahaman, selera, pandangan hidup atau sekedar
berbeda pendapat dan lain-lain. Dengan simboklah Lily berdiskusi.
Simbok. Perempuan sederhana tetapi memiliki kecerdasan yang tidak dapat
dipandang sebelah mata. Meskipun ia dan suaminya hanyalah seorang abdi priyayi,
tetapi bisa kita lihat hasilnya. Mereka mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi
pribadi yang matang dan bertanggung jawab bagi diri dan keluarga. Barangkali
ini yang disebut keberkahan. Dari lima orang anaknya memang hanya Aryo seorang
yang berkuliah. Tetapi kakak-kakak Aryo adalah orang-orang yang berhasil dalam
hidupnya meskipun hanya tamat Sekolah Menengah.
Bukan hal yang mudah mencetak anak-anak yang memiliki kepribadian
demikian, diperlukan kemampuan dalam menyampaikan misi secara halus untuk
mengisi kepribadian seperti yang kita inginkan. Belum lagi pengaruh lingkungan
pergaulan yang acapkali membuat para orang tua kesulitan. Simbok adalah potret
lengkap seorang ibu. Bibirnya selalu basah dengan dzikir, malamnya dihiasi
dengan sujud dan tilawah. Rahasia pengabulan doa-doa.
Almarhum Bapak Aryo seorang pria shalih, taat dalam beribadah. Beliau
seorang takmir Masjid. Semasa hidupnya dihabiskan mengabdi pada keluarga Seno.
Semua pekerjaan laki-laki di Keluarga Seno, Bapak Aryo yang mengerjakan. Mulai
dari mengurus taman, masalah air, listrik, kebersihan kendaraan dan urusan
lainnya. Setelah bapak meninggal Seno memiliki seorang abdi pengganti yang
tinggal di luar lingkungan rumah mereka dan datang setiap hari. Biasanya Aryo
selalu turun tangan membantu. Apalagi untuk urusan taman. Aryolah yang lebih
banyak mengelolanya. Dari penataan, memilih jenis tanaman hingga kebersihannya.
Semasa hidupnya Bapak Aryo selalu mengharuskan putra-putranya sholat di
masjid. Begitupun dengan Aryo kecil waktu itu. Inilah yang membuat Aryo tumbuh
dewasa dan taat beribadah. Mereka membaca Alquran setelah usai sholat maghrib.
Sebuah ritual yang selalu digelar setiap harinya. Jika melewati rumah mereka di
malam hari menjelang waktu sholat isya, maka kita akan diperdengarkan lantunan
alquran yang saling bersahutan karena seisi rumah membacanya. Apalagi jika
bulan Ramadhan tiba. Jingga kecil dahulu sempat belajar mengaji pada bapak
sebelum akhirnya simbok menggantikan setelah bapak meninggal.
****
Simbok masih duduk di
tepi ranjang. Sesekali berdiri melihat halaman melalui jendela kamar. Yang
dinanti belum tiba. Meskipun percakapan dengan Seno tidaklah terlalu
mengejutkan bagi Simbok akan tetapi ia ingin tetap membahasnya dengan Aryo. Simbok
ingin membahas ini sepulang Aryo kerja. Biasanya Aryo akan sampai di rumah
pukul 16.15 sore hari. Dan akan segera membersihkan diri lantas duduk di bangku
kayu di samping rumah di bawah pohon jambu bersama Simbok sekedar bercerita
tentang keseharian dan pekerjaan di kantornya. Aryo seorang ASN di Kantor
Pertanian. Diangkat baru 3 bulan yang lalu. Ia beruntung diterima menjadi ASN
tepat setelah kuliahnya selesai. Sementara Jingga bekerja di sebuah Surat kabar
daerah sebagai wartawati. Belum selesai kuliah Jingga sudah magang di harian
itu dan saat ini ia sudah menjadi wartawan tetap. Sebuah impian lama.
Suara Aryo mengucap salam membuat Simbok terperanjat dan bangkit dari
duduknya. Bergegas menyambut putra kesayangan dengan membalas salam. Aryo
mengambil tangan Simbok dan menciumnya berulang pada punggung dan telapak
tangan perempuan tua yang amat dicintai dan dihormatinya. Seperti petang-petang
sebelumnya Aryo langsung menuju kamar mandi membersihkan diri. Simbok tengah
membuat secangkir teh hangat ketika Aryo melewati ruang makan sederhana mereka.
“Simbok mau dengar tentang semalam le” Simbok mengawali percakapan
sembari meletakkan cangkir teh di depan putranya duduk.
“Bopo Kanjeng tidak mengatakan apa-apa mbok”
“Aryo tidak punya keberanian untuk melihat wajah beliau, seperti ada kecewa mbok. Itu yang
bisa Aryo rasakan “
“Tapi Aryo akan tetap menunggu, mbok”
“Mungkin Bopo Kanjeng perlu waktu untuk menerima keadaan ini”
Simbok urung menyampaikan
ucapan Seno pagi tadi. Tak ingin mengecewakan putra kesayangannya. Biarlah
berlalu. Mungkin Aryo benar, Seno perlu waktu untuk menelaah semua. Pokok Jambu
peneduh bangku panjang seperti paham, merunduk dengan cabang dan ranting yang
rimbun oleh daun dan beberapa kelopak bunga bakal buah mulai mekar.
“Kalau memang kalian berjodoh, tentu akan Allah mudahkan, nak. Teruslah
berdoa.” Simbok berkata sambil mengusap bahu putranya. Keduanya kembali
terdiam, saling berkomunikasi lewat rasa. Seperti yang biasa mereka lakukan.
Tak semua harus diucapkan. Mereka memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Tanpa
Aryo menyebutkanpun Simbok sudah paham betapa putranya sangat mencintai Jingga.
Bertahun mereka saling mengisi dengan kedewasaan yang terjaga. Aryo dan Jingga
bukan seperti pasangan kebanyakan yang harus janjian jalan kemana-mana atau
nongkrong dan sebangsanya. Cukuplah bagi keduanya berangkat dan pulang kuliah
Bersama. Atau sekedar membeli buku setelah tidak menemukan di perpustakaan
kampus. Selebihnya paling Aryo bakal ke dapur menggoda Jingga yang sering belajar
memasak dengan Simbok. Lantas terbahak ketika Jingga mulai kesal. Biasanya Lily
akan nimbrung jika terdengar gelak keduanya.
Lily dan Simbok
acapkali beradu pandang ketika mendapati pasangan itu bercanda. Sebagai ibu
mereka dapat merasakan ada cinta putih yang terjalin karena sebuah kebersamaan
yang panjang. Tapi keduanya tak pernah ingin membahasnya. Mereka sudah cukup
bahagia memandang kebahagiaan dua sejoli itu. Aryo dan Jingga.
***
Hari ini sangat panas,
Jingga melangkah meninggalkan Kantor Harian Surat Kabar dengan bergegas. Baru
pukul 10.00 Wib sudah sangat menyengat. Tapi Jingga sudah membuat janji
wawancara dengan seorang anggota dewan di Gedung DPRD.
“Mbak Jingga mari saya antar, “ suara tukang becak menyergap angan
Jingga. Seperti biasa Jingga tak mampu menolak lantas segera naik dan
mengucapkan terimakasih.
“Saya mau ke Gedung Dewan ya, pak”ucap Jingga setelah duduk di bangku
becak. Semua tukang becak yang mangkal sekitaran kantor mengenal Jingga, wanita
sholihah dengan kerudung rapi sepatu kets membungkus langkahnya. Ramah dan
sopan dalam berbicara, tapi tetap terasa tegas dalam kalimat-kalimatnya. Jingga
mengulurkan selembar dua puluh ribu rupiah,
“Terimakasih ya pak. Kembalian untuk bapak saja.” Ucap Jingga sambil
melenggang. Belum sempat tukang becak menjawab Jingga sudah hilang ditelan
rindangnya taman Gedung DPRD.
“Semoga Allah merahmati dan memberkahi rejekimu, mbak.”Gumam tukang
becak berterimakasih.
Jingga duduk di sebuah
bangku tunggu di depan ruang Komisi 4. Tidak lama kemudian seorang pria
berpakaian rapi keluar diikuti Ibu Nuryana di belakangnya.
“Eh, Mbak Jingga, sudah lama menunggu?” Sapa Ibu Nuryana, salah seorang
staf di Komisi 4.
“Baru tiga menit yang lalu ibu, saya berjanji bertemu bapak hari ini
pukul 10.15 Wib, Ibu Nuryana. Bagaimana ibu ?” Jawab Jingga menerangkan.
“Betul mbak, sesuai jadwal yang sudah kita sepakati kemarin. Silakan
mbak, bapak sudah siap di ruangannya.” Wanita bertubuh subur itu mempersilakan
Jingga masuk. Tidak membuang waktu Jinggapun segera masuk.
Ruang dewan yang sejuk
melepaskan segala penat dan gerah yang menyergap di luar sana. Seorang pria
tinggi besar duduk di belakang meja dengan papan nama terletak di depan sebelah
kiri meja, tertulis “LANDUNG PAMUNGKAS, S.IP.” Di belakangnya terpajang
foto-foto, plakat, vandel dan aneka cinderamata dari kunjungan kerja. Jam besar
terpajang di dinding melengkapi gagahnya burung garuda lambang negara di
dinding sisi lainnya.
“Assalaamualaikum, bapak. Apa kabar Pak Landung?” Sapa Jingga sambil
menangkupkan kedua tangannya.
“Waalaikum salam. Alhamdulillah kabar baik. Silakan Mbak Jingga. Kita
duduk di sofa saja ya, mbak” Ajak pria itu sembari meninggalkan mejanya. Barangkali
supaya lebih santai dalam wawancara, sehingga pria gagah itu mengajak Jingga
duduk di sofa.
“Baik bapak, siap.”Jawab Jingga sembari duduk di sofa dan tangannya
segera mengeluarkan gawainya dari dalam ransel di bahunya untuk membuat rekaman.
Jingga wartawati lama yang setiap ada kegiatan di komisi 4 mendapatkan tugas
untuk meliput. Seperti pada hari ini, Jingga akan meliput tentang Raperda yang
baru-baru ini final di paripurnakan. Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan
Daerah atau SKD. Bukan hanya satu kali Jingga menghubungi untuk wawancara akan
tetapi belum rampung sehingga wawancara selalu ditunda.
“Alhamdulillah ya. Pak. Akhirnya Raperda SKD final. Setelah berkali-kali
pembahasan. Bagaimana menurut bapak?” Jingga membuka wawancaranya.
“Raperda ini alot karena melibatkan banyak OPD yang memiliki kepentingan
dengan tupoksinya, seperti Dinas Kesehatan sebagai leading sector, Dinas
Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Sosial, Dinas Komunikasi dan
informatika, juga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.” Jingga mengangguk.
“Isinya mengenai Upaya Kesehatan dengan puskesmas, RSUD, Labkesda dan UPT-UPT
diluar Dinas Kesehatan sebagai provider maupun mitra.”Sambung Landung kepada
Jingga.
***
Sudah dua minggu berlalu
sejak percakapan Aryo dan Seno petang itu. Semua berlalu seperti tak pernah
terjadi apapun. Hingga siang ini Lily perlahan membuka pembicaraan.
“Bagaimana menurut simbok
memandang hal ini, tentang Aryo dan Jingga.”
“Simbok tidak pernah
mempermasalahkan Kanjeng, yang penting kita tidak melanggar hukum Allah.”Jawab
simbok perlahan sambil menghentikan aktivitasnya memotong wortel. Hari ini
mereka akan memasak sup ayam kampung kegemaran Seno. Keduanya duduk
berdampingan. Memandang kepada kumpulan aglonema di taman belakang dapur.
Terdiam sesaat.
“Bagi saya Jingga akan
bahagia bersama Aryo. Sahabat dari kecil yang memiliki watak baik dan bisa
dipercaya membimbing langkah Jingga selanjutnya. Kalaupun Bopo tidak memberikan
ucapan apapun itu karena belau memerlukan waktu. Beliau sudah sangat nyaman
pada posisi sebagai boponya Aryo. Bukan mudah menerima Aryo sebagai sosok yang
lain. Kita doakan saja simbok, anak-anak kita mendapatkan jodoh terbaiknya.”Jelas
Lily panjang lebar. Di sebelahnya simbok menganggukkan kepalanya. Menyetujui
pendapat Lily tentang hubungan putranya dengan Jingga.
***
Aryo membuka pintu dan bungkam tak berkata. Terperanjat demi
mendapati Simbok sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Sebuah amplop
besar padat berkas di tangannya. Kata simbok “Dari Bopo Kanjeng untukmu, nak.” Aryo
membawanya ke atas meja sederhana di ruang tengah. Hari itu, Sabtu. Suasana
libur sangat terasa. Aryo sudah siap dengan setelan kebun hendak merapikan
taman rumah Seno, kegiatannya setiap dua
atau satu minggu sekali. Aryo duduk di kursi, simbok perlahan duduk di
sebelahnya. “Kenapa mbok ?” Aryo menoleh ke arah simbok yang duduk sembari
menghela nafas. Yang ditanya tersenyum. “Ora, le. Terusno”
Aryo perlahan membuka amplop, ada perasaan yang tidak
dimengerti menjalar di hatinya. Sudah hampir satu bulan setelah dirinya
berbicara dengan Seno, tidak banyak kata yang mereka saling ucapkan. Hanya
aktivitas ritual saja. Aryo selalu berangkat bekerja dengan menemui Seno di
pendopo dahulu untuk cium tangan. Ritual yang tidak pernah hilang sejak dahulu Aryo
kecil berangkat sekolah hingga dewasa dan bekerja. Pamit. Kalimat penyertanya
juga tidak banyak “Aryo pamit Bopo Kanjeng.” Dan Senopun selalu menjawab dengan
kalimat yang sama, “Sing ngati ati.”
Dan
hari ini tiba-tiba Seno mengirimkan amplop besar lewat Simbok. Perlahan Aryo
membuka dan membaca kertas-kertas yang ada di dalamnya. Aryo terhenyak begitu
membaca kepala salah satu kertas itu bertuliskan Departemen Agama, Kepala
Urusan Agama dan seterusnya. Lembar demi lembar dibacanya.
“Ya Allah, Bopo Kanjeng.
Alhamdulillah. Matur nuwun ya Allah, Aryo bergegas berdiri dan sujud di lantai
sebelah meja. Seperti tiada bertulang seluruh tubuh lunglai. Segera Aryo bersimpuh
di depan simbok yang masih duduk di dekatnya. Terisak keduanya berpelukan.
“Sudah, ayo
diselesaikan.”Kata sebuah suara dari arah pintu. Aryo mengangkat kepalanya dan
di dapati Bopo Kanjeng sudah berdiri di pintu bersama Ibu Kanjeng dan Jingga.
“Masyaa Allah Bopo dan
ibu kanjeng, Aryo,,Aryo,,” Tak mampu berkata-kata. Lantas dipeluknya kedua kaki
bopo yang dihormati dan dicintainya. Semua terhanyut dalam bahagia. Pipi Jingga
memerah dengan derai air mata yang membasahi. Berlari memeluk Simbok yang
selama ini sudah menjadi ibu baginya. Lily duduk disebelah simbok, tangannya
mengusap punggung putri kesayangannya.
Kodarullah
yang tak dapat dipungkiri manusia. Rupanya secara diam-diam Seno memerintahkan
pegawainya mengurus berkas pendaftaran menikah Aryo dan Jingga. Seno berulang
memikirkan hal ini setelah permohonan Aryo petang itu. Rasanya lega setelah
mampu menerima Aryo anak angkatnya sebagai calon menantu. Baginya tak
membedakan apapun. Ini bukan pelanggaran agama. Dan keduanya adalah anak-anak
yang sholih dan sholihah yang patut mendapatkan apresiasi dan kehalalan di mata
Allah.
***
Gamelan
dan tembang jawa membalut keindahan pesta pernikahan. Senyum, tawa canda dan
keriangan melengkapi. Sepasang pengantin berbahagia duduk di pelaminan.
Sesekali saling memandang. Keduanya saling bergandengan tangan. “Malam ini
tidur di belakang, ya. Di kamarku.”Goda Aryo.
“Enggaklah. Aku mau tidur
sama Ibu Kanjeng.” Jingga balas menggoda. Jingga memanggil Lily menirukan Aryo
dan kakak-kakaknya. Tidak pernah dapat dirubah sekalipun Lily berkali-kali
meminta, hingga dewasapun tetap dengan panggilan yang sama. Ibu Kanjeng.
“Nggak usah pakai
kanjeng, nak.” Biasanya Jingga hanya tersenyum dan lupa untuk meralat.
“Eh, pengantinnya malah
pandang-pandangan terus, ini lho. Kami ini tidak disambut apa?” Aryo dan Jingga
menoleh serempak dan terkesima. Ternyata Mas Jaler datang dari Jambi. Karena
ingin memberi kejutan, siang kemarin datang dari bandara tidak langsung
menginap di rumah simbok tapi mengendap – endap ke rumah Bulik Sri dan tidur di
sana bersama anak dan istrinya. Demi kejutan lagi.
“Ya Allah Mas,
terimakasih sudah datang.” Aryo memeluk erat kakaknya. Kakak yang selama ini
memberikan inspirasi dalam mengejar cita-cita dan menata kehidupannya.
Kebahagiaan
itu rahmat dan jika Allah menghendaki kapan saja akan singgah dalam kehidupan
kita meskipun itu hal-hal yang sederhana.
SELESAI