Senin, 25 Juli 2022

 



        RASA

Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

 

Perempuan tua duduk tertunduk dalam diam. Jilbab panjangnya menjela sebagian nyaris menutup wajahnya. Terpekur. Tak kuasa atas ketetapan Tuhan. Bahkan lidahnya kelu tak mampu berucap. Baginya cukuplah mendengarkan titah kanjeng. Di hatinya,  Aryo anak bungsunya tidaklah bersalah, semua hanya menjalankan perintah Allah yang berkenan mengirimkan rasa cinta di setiap hati manusia terhadap manusia lainnya.

Tidak juga seorang kanjeng yang berdiri memandang ke jendela. Putrinya memang berdarah biru tetapi ia adalah seorang gadis yang selayaknya bisa merasakan jatuh cinta kepada seseorang. Pun kepada Aryo. Mereka dibesarkan bersama. Sudah selayaknya benih cinta tumbuh di antara keduanya. Tak perlu dilakukan intervensi apapun biar saja mengalir dengan indah, tanpa pelanggaran pada agama dan norma budaya.

Perempuan tua itu masih belum beringsut, hingga dengan ujung matanya melihat Seno berjalan ke arah pintu sambil berguman,

 "pikirkan lagi perkataanku, mbok. Kalian sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Jangan merusak tatanan."

Tak ada yang lebih tepat kalimat yang keluar dari mulut simbok, cukuplah  "Sendiko kanjeng." Tidak perlu berpanjang lebar dengan kata-kata pembenaran.

Perlahan Simbok mengangkat kepalanya dan mencoba beranjak, pandangannya beredar ke antero taman. Tak ditemukan sosok yang dicarinya. Resah menyelimuti seluruh relung. Apa maksud Kanjeng Seno dengan merusak tatanan. Bukankah keduanya halal menikah secara agama.

Keduanya tak memiliki pertalian darah. Mereka hanya mendapatkan pengasuhan di tempat, waktu dan pola kehidupan yang sama serta oleh orang-orang yang sama.  
   

****



Aryo pemuda berbadan tegap berkulit gelap, hidung bangir. Tergolong rupawan diantara teman-teman kuliahnya. Adabnya sangat sopan. Tidak heran karena dibesarkan ibunya di lingkungan keluarga yang masih memiliki keturunan bangsawan. Aryo sejak kecil sudah menjadi yatim, ditinggal almarhum bapaknya dan dibesarkan di rumah sederhana di belakang Pendopo Seno.

Kakak-kakaknya sudah berkeluarga dan masing-masing tinggal di tempat yang berbeda-beda. Kakak pertama seorang perempuan bersuamikan pria dari tanah seberang berdarah minang. Saat ini tinggal dan membuka usaha restoran padang di pinggiran kota Jogja. Kakak kedua seorang pria yang menyunting perempuan sunda dan tinggal di kota depok karena keduanya bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil. Kakak ketiga tinggal di Kota Solo bersama suami dan keluarganya yang berasal dari Solo. Keduanya memiliki usaha sendiri berupa Toko Kelontong. Kakak ke empat tinggal di Jambi. Kakak ke empat inilah seorang pria yang banyak menginspirasi Aryo mempelajari pertanian. Mas Jaler biasa dipanggil. Memiliki usaha perkebunan di Jambi. Sangat jarang pulang ke Jogja akan tetapi kemajuan teknologi tak akan mampu menghalangi keterbatasan tempat ruang dan waktu. Mereka sering berkomunikasi bertukar pikiran tentang banyak hal hingga menimbulkan keinginan Aryo untuk banyak belajar tentang pertanian dan perkebunan.

Sejak dulu keluarga Aryo mengabdi pada keluarga Seno. Jauh sebelum Aryo lahir. Kakek dan nenek Aryo pun sudah tinggal di sana. Dan Seno pun diasuh oleh keduanya. Sebuah pertemanan keluarga yang sudah mengakar.

Seno adalah seorang ASN dengan jabatan Camat di wilayah itu. Istrinya seorang wanita ayu yang kesehariannya menjadi ibu rumah tangga dengan kesibukan sebagai ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan. Mulai dari membina kelompok kerajinan ibu-ibu, majelis taklim, bhakti sosial dan lain – lain layaknya istri seorang camat.

Lily, istri Seno adalah wanita yang sangat lembut dalam perilaku dan bahasa. Sangatlah wajar bila darinya lahir Jingga. Gadis berparas jelita gemulai dalam laku dan indah dalam berkata. Sejak duduk di Sekolah Dasar Jingga dan Aryo satu sekolah bahkan sering satu kelas. Begitupun saat mereka di Sekolah Menengah. Nyaris selalu satu kelas. Mereka berpisah saat berkuliah. Jingga mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi sedangkan Aryo lebih memilih berkuliah di Fakultas Pertanian. Keduanya sama-sama briliyan dan tanpa kesulitan menyelesaikan kuliahnya d Universitas yang sama Universitas Gajah Mada.

Bagi Seno, Aryo sudah dianggap putra sendiri. Pasangan Seno yang turunan bangsawan Jogja dan Lily hanya memiliki satu orang putri saja. Jingga. Karenanya Seno menjadikan Aryo sebagai curahan keinginannya memiliki seorang putra. Seluruh biaya hidup dan kuliahnya diberikan sebagai tanda sayang dan cintanya serta wujud keterikatan keluarga yang sudah turun temurun terjalin.

 Rasanya sulit untuk memposisikan diri sebagai mertua. Rasa khawatir sesaat berkelebat tentang asumsi khalayak jika semua terjadi. Seno masih terdiam, pembicaraan dengan Aryo terus terngiang di telinganya, "Bopo Kanjeng," Aryo mengawali pembicaraan petang itu. Panggilan Aryo kepada Seno sejak kecil. "Badhe matur" lanjut Aryo. Seno merubah posisi duduk menghadap pada putra angkatnya. Aryo dengan sangat perlahan menyampaikan niatnya untuk menikahi Jingga. Sahabat kecil hingga dewasa yang selalu setia membersamai suka duka dalam perjalanan hidupnya.

Bagi Aryo, Jinggalah wanita impian yang akan menemaninya sepanjang usia. Bahkan berharap hingga jannahNya Allah. Memberikannya anak-anak penerus keturunan mereka. Begitupun Jingga. Tak satu orang pria pun pernah singgah di hatinya kecuali Aryo. Pemuda yang merampas seluruh cintanya hingga membuatnya tak mampu berada jauh darinya. Jingga merasa mulai ada sesuatu yang beda saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Jingga tersenyum sendiri jika mengingatnya bagaimana ia selalu gusar jika melihat Aryo berkelakar terlalu dekat dengan teman wanita.

Belakangan Jingga menjadi paham bahwa itulah yang disebut orang sebagai rasa cinta. Cinta antara seorang wanita dan pria dewasa, bukan cinta seorang ibu pada anaknya atau cinta seorang adik kepada kakaknya. Perasaan itu terus berkembang tumbuh dengan subur dan semakin indah. Mereka melaluinya dalam diam hingga percakapan Seno dan Aryo petang itu membuat Seno berpikir keras karena tak menduga sama sekali.

Lain halnya dengan Lily istrinya. Sejak lama wanita jawa nan halus itu bisa merasakan apa yang tak diceritakan putrinya. Bagi Lily tak mengapa dan ia membiarkan semuanya mengalir tak ingin mengusik hingga percakapan petang itu terjadi. Lily tetap menyapa dan bersikap seperti biasa dengan simbok, mendiskusikan menu dan belanja harian serta urusan rumah tangga lainnya. Lily sangat mempercayai simbok. Perempuan itu sudah seperti kakak sendiri baginya. Segala sesuatu sering dibahas bersamanya. Bahkan makanan atau masakan kesukaan Seno pun Lily belajar dari simbok. Bagaimana tidak Seno kecil dulu simboklah yang mengasuhnya. Simbok jauh lebih mengenal watak kepribadian Seno tinimbang Lily istrinya. Di awal-awal perkawinan mereka, simbok sering menjadi juru selamat karena masalah kesalah pahaman, selera, pandangan hidup atau sekedar berbeda pendapat dan lain-lain. Dengan simboklah Lily berdiskusi.

Simbok. Perempuan sederhana tetapi memiliki kecerdasan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Meskipun ia dan suaminya hanyalah seorang abdi priyayi, tetapi bisa kita lihat hasilnya. Mereka mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab bagi diri dan keluarga. Barangkali ini yang disebut keberkahan. Dari lima orang anaknya memang hanya Aryo seorang yang berkuliah. Tetapi kakak-kakak Aryo adalah orang-orang yang berhasil dalam hidupnya meskipun hanya tamat Sekolah Menengah.

Bukan hal yang mudah mencetak anak-anak yang memiliki kepribadian demikian, diperlukan kemampuan dalam menyampaikan misi secara halus untuk mengisi kepribadian seperti yang kita inginkan. Belum lagi pengaruh lingkungan pergaulan yang acapkali membuat para orang tua kesulitan. Simbok adalah potret lengkap seorang ibu. Bibirnya selalu basah dengan dzikir, malamnya dihiasi dengan sujud dan tilawah. Rahasia pengabulan doa-doa.

Almarhum Bapak Aryo seorang pria shalih, taat dalam beribadah. Beliau seorang takmir Masjid. Semasa hidupnya dihabiskan mengabdi pada keluarga Seno. Semua pekerjaan laki-laki di Keluarga Seno, Bapak Aryo yang mengerjakan. Mulai dari mengurus taman, masalah air, listrik, kebersihan kendaraan dan urusan lainnya. Setelah bapak meninggal Seno memiliki seorang abdi pengganti yang tinggal di luar lingkungan rumah mereka dan datang setiap hari. Biasanya Aryo selalu turun tangan membantu. Apalagi untuk urusan taman. Aryolah yang lebih banyak mengelolanya. Dari penataan, memilih jenis tanaman hingga kebersihannya.

Semasa hidupnya Bapak Aryo selalu mengharuskan putra-putranya sholat di masjid. Begitupun dengan Aryo kecil waktu itu. Inilah yang membuat Aryo tumbuh dewasa dan taat beribadah. Mereka membaca Alquran setelah usai sholat maghrib. Sebuah ritual yang selalu digelar setiap harinya. Jika melewati rumah mereka di malam hari menjelang waktu sholat isya, maka kita akan diperdengarkan lantunan alquran yang saling bersahutan karena seisi rumah membacanya. Apalagi jika bulan Ramadhan tiba. Jingga kecil dahulu sempat belajar mengaji pada bapak sebelum akhirnya simbok menggantikan setelah bapak meninggal.

 

****

 

 

            Simbok masih duduk di tepi ranjang. Sesekali berdiri melihat halaman melalui jendela kamar. Yang dinanti belum tiba. Meskipun percakapan dengan Seno tidaklah terlalu mengejutkan bagi Simbok akan tetapi ia ingin tetap membahasnya dengan Aryo. Simbok ingin membahas ini sepulang Aryo kerja. Biasanya Aryo akan sampai di rumah pukul 16.15 sore hari. Dan akan segera membersihkan diri lantas duduk di bangku kayu di samping rumah di bawah pohon jambu bersama Simbok sekedar bercerita tentang keseharian dan pekerjaan di kantornya. Aryo seorang ASN di Kantor Pertanian. Diangkat baru 3 bulan yang lalu. Ia beruntung diterima menjadi ASN tepat setelah kuliahnya selesai. Sementara Jingga bekerja di sebuah Surat kabar daerah sebagai wartawati. Belum selesai kuliah Jingga sudah magang di harian itu dan saat ini ia sudah menjadi wartawan tetap. Sebuah impian lama.

Suara Aryo mengucap salam membuat Simbok terperanjat dan bangkit dari duduknya. Bergegas menyambut putra kesayangan dengan membalas salam. Aryo mengambil tangan Simbok dan menciumnya berulang pada punggung dan telapak tangan perempuan tua yang amat dicintai dan dihormatinya. Seperti petang-petang sebelumnya Aryo langsung menuju kamar mandi membersihkan diri. Simbok tengah membuat secangkir teh hangat ketika Aryo melewati ruang makan sederhana mereka.  

“Simbok mau dengar tentang semalam le” Simbok mengawali percakapan sembari meletakkan cangkir teh di depan putranya duduk.

“Bopo Kanjeng tidak mengatakan apa-apa mbok”

“Aryo tidak punya keberanian untuk melihat wajah  beliau, seperti ada kecewa mbok. Itu yang bisa Aryo rasakan “

“Tapi Aryo akan tetap menunggu, mbok”

“Mungkin Bopo Kanjeng perlu waktu untuk menerima keadaan ini”

            Simbok urung menyampaikan ucapan Seno pagi tadi. Tak ingin mengecewakan putra kesayangannya. Biarlah berlalu. Mungkin Aryo benar, Seno perlu waktu untuk menelaah semua. Pokok Jambu peneduh bangku panjang seperti paham, merunduk dengan cabang dan ranting yang rimbun oleh daun dan beberapa kelopak bunga bakal buah mulai mekar.

“Kalau memang kalian berjodoh, tentu akan Allah mudahkan, nak. Teruslah berdoa.” Simbok berkata sambil mengusap bahu putranya. Keduanya kembali terdiam, saling berkomunikasi lewat rasa. Seperti yang biasa mereka lakukan. Tak semua harus diucapkan. Mereka memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Tanpa Aryo menyebutkanpun Simbok sudah paham betapa putranya sangat mencintai Jingga. Bertahun mereka saling mengisi dengan kedewasaan yang terjaga. Aryo dan Jingga bukan seperti pasangan kebanyakan yang harus janjian jalan kemana-mana atau nongkrong dan sebangsanya. Cukuplah bagi keduanya berangkat dan pulang kuliah Bersama. Atau sekedar membeli buku setelah tidak menemukan di perpustakaan kampus. Selebihnya paling Aryo bakal ke dapur menggoda Jingga yang sering belajar memasak dengan Simbok. Lantas terbahak ketika Jingga mulai kesal. Biasanya Lily akan nimbrung jika terdengar gelak keduanya.

            Lily dan Simbok acapkali beradu pandang ketika mendapati pasangan itu bercanda. Sebagai ibu mereka dapat merasakan ada cinta putih yang terjalin karena sebuah kebersamaan yang panjang. Tapi keduanya tak pernah ingin membahasnya. Mereka sudah cukup bahagia memandang kebahagiaan dua sejoli itu. Aryo dan Jingga.

           

***

            Hari ini sangat panas, Jingga melangkah meninggalkan Kantor Harian Surat Kabar dengan bergegas. Baru pukul 10.00 Wib sudah sangat menyengat. Tapi Jingga sudah membuat janji wawancara dengan seorang anggota dewan di Gedung DPRD.

“Mbak Jingga mari saya antar, “ suara tukang becak menyergap angan Jingga. Seperti biasa Jingga tak mampu menolak lantas segera naik dan mengucapkan terimakasih.

“Saya mau ke Gedung Dewan ya, pak”ucap Jingga setelah duduk di bangku becak. Semua tukang becak yang mangkal sekitaran kantor mengenal Jingga, wanita sholihah dengan kerudung rapi sepatu kets membungkus langkahnya. Ramah dan sopan dalam berbicara, tapi tetap terasa tegas dalam kalimat-kalimatnya. Jingga mengulurkan selembar dua puluh ribu rupiah,

“Terimakasih ya pak. Kembalian untuk bapak saja.” Ucap Jingga sambil melenggang. Belum sempat tukang becak menjawab Jingga sudah hilang ditelan rindangnya taman Gedung DPRD.

“Semoga Allah merahmati dan memberkahi rejekimu, mbak.”Gumam tukang becak berterimakasih.

            Jingga duduk di sebuah bangku tunggu di depan ruang Komisi 4. Tidak lama kemudian seorang pria berpakaian rapi keluar diikuti Ibu Nuryana di belakangnya.

“Eh, Mbak Jingga, sudah lama menunggu?” Sapa Ibu Nuryana, salah seorang staf di Komisi 4.

“Baru tiga menit yang lalu ibu, saya berjanji bertemu bapak hari ini pukul 10.15 Wib, Ibu Nuryana. Bagaimana ibu ?” Jawab Jingga menerangkan.

“Betul mbak, sesuai jadwal yang sudah kita sepakati kemarin. Silakan mbak, bapak sudah siap di ruangannya.” Wanita bertubuh subur itu mempersilakan Jingga masuk. Tidak membuang waktu Jinggapun segera masuk.

            Ruang dewan yang sejuk melepaskan segala penat dan gerah yang menyergap di luar sana. Seorang pria tinggi besar duduk di belakang meja dengan papan nama terletak di depan sebelah kiri meja, tertulis “LANDUNG PAMUNGKAS, S.IP.” Di belakangnya terpajang foto-foto, plakat, vandel dan aneka cinderamata dari kunjungan kerja. Jam besar terpajang di dinding melengkapi gagahnya burung garuda lambang negara di dinding sisi lainnya.

“Assalaamualaikum, bapak. Apa kabar Pak Landung?” Sapa Jingga sambil menangkupkan kedua tangannya.

“Waalaikum salam. Alhamdulillah kabar baik. Silakan Mbak Jingga. Kita duduk di sofa saja ya, mbak” Ajak pria itu sembari meninggalkan mejanya. Barangkali supaya lebih santai dalam wawancara, sehingga pria gagah itu mengajak Jingga duduk di sofa.  

“Baik bapak, siap.”Jawab Jingga sembari duduk di sofa dan tangannya segera mengeluarkan gawainya dari dalam ransel di bahunya untuk membuat rekaman. Jingga wartawati lama yang setiap ada kegiatan di komisi 4 mendapatkan tugas untuk meliput. Seperti pada hari ini, Jingga akan meliput tentang Raperda yang baru-baru ini final di paripurnakan. Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan Daerah atau SKD. Bukan hanya satu kali Jingga menghubungi untuk wawancara akan tetapi belum rampung sehingga wawancara selalu ditunda.

“Alhamdulillah ya. Pak. Akhirnya Raperda SKD final. Setelah berkali-kali pembahasan. Bagaimana menurut bapak?” Jingga membuka wawancaranya.

“Raperda ini alot karena melibatkan banyak OPD yang memiliki kepentingan dengan tupoksinya, seperti Dinas Kesehatan sebagai leading sector, Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Sosial, Dinas Komunikasi dan informatika, juga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.” Jingga mengangguk.

“Isinya mengenai Upaya Kesehatan dengan puskesmas, RSUD, Labkesda dan UPT-UPT diluar Dinas Kesehatan sebagai provider maupun mitra.”Sambung Landung kepada Jingga.

           

***

            Sudah dua minggu berlalu sejak percakapan Aryo dan Seno petang itu. Semua berlalu seperti tak pernah terjadi apapun. Hingga siang ini Lily perlahan membuka pembicaraan.

“Bagaimana menurut simbok memandang hal ini, tentang Aryo dan Jingga.”

“Simbok tidak pernah mempermasalahkan Kanjeng, yang penting kita tidak melanggar hukum Allah.”Jawab simbok perlahan sambil menghentikan aktivitasnya memotong wortel. Hari ini mereka akan memasak sup ayam kampung kegemaran Seno. Keduanya duduk berdampingan. Memandang kepada kumpulan aglonema di taman belakang dapur. Terdiam sesaat.

“Bagi saya Jingga akan bahagia bersama Aryo. Sahabat dari kecil yang memiliki watak baik dan bisa dipercaya membimbing langkah Jingga selanjutnya. Kalaupun Bopo tidak memberikan ucapan apapun itu karena belau memerlukan waktu. Beliau sudah sangat nyaman pada posisi sebagai boponya Aryo. Bukan mudah menerima Aryo sebagai sosok yang lain. Kita doakan saja simbok, anak-anak kita mendapatkan jodoh terbaiknya.”Jelas Lily panjang lebar. Di sebelahnya simbok menganggukkan kepalanya. Menyetujui pendapat Lily tentang hubungan putranya dengan Jingga.

***

            Aryo membuka pintu dan bungkam tak berkata. Terperanjat demi mendapati Simbok sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Sebuah amplop besar padat berkas di tangannya. Kata simbok “Dari Bopo Kanjeng untukmu, nak.” Aryo membawanya ke atas meja sederhana di ruang tengah. Hari itu, Sabtu. Suasana libur sangat terasa. Aryo sudah siap dengan setelan kebun hendak merapikan taman rumah Seno,  kegiatannya setiap dua atau satu minggu sekali. Aryo duduk di kursi, simbok perlahan duduk di sebelahnya. “Kenapa mbok ?” Aryo menoleh ke arah simbok yang duduk sembari menghela nafas. Yang ditanya tersenyum. “Ora, le. Terusno”

            Aryo perlahan membuka amplop, ada perasaan yang tidak dimengerti menjalar di hatinya. Sudah hampir satu bulan setelah dirinya berbicara dengan Seno, tidak banyak kata yang mereka saling ucapkan. Hanya aktivitas ritual saja. Aryo selalu berangkat bekerja dengan menemui Seno di pendopo dahulu untuk cium tangan. Ritual yang tidak pernah hilang sejak dahulu Aryo kecil berangkat sekolah hingga dewasa dan bekerja. Pamit. Kalimat penyertanya juga tidak banyak “Aryo pamit Bopo Kanjeng.” Dan Senopun selalu menjawab dengan kalimat yang sama, “Sing ngati ati.”

Dan hari ini tiba-tiba Seno mengirimkan amplop besar lewat Simbok. Perlahan Aryo membuka dan membaca kertas-kertas yang ada di dalamnya. Aryo terhenyak begitu membaca kepala salah satu kertas itu bertuliskan Departemen Agama, Kepala Urusan Agama dan seterusnya. Lembar demi lembar dibacanya.

“Ya Allah, Bopo Kanjeng. Alhamdulillah. Matur nuwun ya Allah, Aryo bergegas berdiri dan sujud di lantai sebelah meja. Seperti tiada bertulang seluruh tubuh lunglai. Segera Aryo bersimpuh di depan simbok yang masih duduk di dekatnya. Terisak keduanya berpelukan.

“Sudah, ayo diselesaikan.”Kata sebuah suara dari arah pintu. Aryo mengangkat kepalanya dan di dapati Bopo Kanjeng sudah berdiri di pintu bersama Ibu Kanjeng dan Jingga.

“Masyaa Allah Bopo dan ibu kanjeng, Aryo,,Aryo,,” Tak mampu berkata-kata. Lantas dipeluknya kedua kaki bopo yang dihormati dan dicintainya. Semua terhanyut dalam bahagia. Pipi Jingga memerah dengan derai air mata yang membasahi. Berlari memeluk Simbok yang selama ini sudah menjadi ibu baginya. Lily duduk disebelah simbok, tangannya mengusap punggung putri kesayangannya.

Kodarullah yang tak dapat dipungkiri manusia. Rupanya secara diam-diam Seno memerintahkan pegawainya mengurus berkas pendaftaran menikah Aryo dan Jingga. Seno berulang memikirkan hal ini setelah permohonan Aryo petang itu. Rasanya lega setelah mampu menerima Aryo anak angkatnya sebagai calon menantu. Baginya tak membedakan apapun. Ini bukan pelanggaran agama. Dan keduanya adalah anak-anak yang sholih dan sholihah yang patut mendapatkan apresiasi dan kehalalan di mata Allah.

***

            Gamelan dan tembang jawa membalut keindahan pesta pernikahan. Senyum, tawa canda dan keriangan melengkapi. Sepasang pengantin berbahagia duduk di pelaminan. Sesekali saling memandang. Keduanya saling bergandengan tangan. “Malam ini tidur di belakang, ya. Di kamarku.”Goda Aryo.

“Enggaklah. Aku mau tidur sama Ibu Kanjeng.” Jingga balas menggoda. Jingga memanggil Lily menirukan Aryo dan kakak-kakaknya. Tidak pernah dapat dirubah sekalipun Lily berkali-kali meminta, hingga dewasapun tetap dengan panggilan yang sama. Ibu Kanjeng.

“Nggak usah pakai kanjeng, nak.” Biasanya Jingga hanya tersenyum dan lupa untuk meralat.

“Eh, pengantinnya malah pandang-pandangan terus, ini lho. Kami ini tidak disambut apa?” Aryo dan Jingga menoleh serempak dan terkesima. Ternyata Mas Jaler datang dari Jambi. Karena ingin memberi kejutan, siang kemarin datang dari bandara tidak langsung menginap di rumah simbok tapi mengendap – endap ke rumah Bulik Sri dan tidur di sana bersama anak dan istrinya. Demi kejutan lagi.

“Ya Allah Mas, terimakasih sudah datang.” Aryo memeluk erat kakaknya. Kakak yang selama ini memberikan inspirasi dalam mengejar cita-cita dan menata kehidupannya.

Kebahagiaan itu rahmat dan jika Allah menghendaki kapan saja akan singgah dalam kehidupan kita meskipun itu hal-hal yang sederhana.      

                                               

 SELESAI

                                                                                                                                           

                                     

 

Dia adalah Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb seorang bidan yang memiliki hasrat besar menulis. Semasa sekolah menengah sering berkirim puisi di majalah lokal. Namun sekarang  terkendala dengan kesibukannya sebagai ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung. Memilki seorang suami dan dua orang putra. Dia terlahir sebagai putri pertama pasangan bapak ibu guru di sebuah desa kecil di Kabupaten Purworejo. Usai mengikuti Program Pendidikan Bidan Aisyiyah di Yogyakarta, awal tahun 1992 hijrah menunaikan konsekwensi menjadi bidan di pulau nan eksotik, Belitung. Mimpinya terus melambung untuk menjadi penulis, hingga saat ini. Bahkan kiprahnya di persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah sering dijadikan objek sebagai pelepas hasrat menulis.  Dan berkat inisiasi sahabatnya dia sudah memiliki 2 Buku Antologi Cerpen Bersama Tim Tinta Aksara. Bila ingin mengenal tulisannya lebih dekat bisa melalui blog yang dirilisnya sejak 2015. Di :

  https://dafirastory.blogspot.com/2022/05/html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...