Sabtu, 13 Agustus 2022

 


RIANTI

oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

 

       Pantai Tanjung Tinggi bisu, mewakili sepinya hati Rianti. Jiwanya dipenuhi gamang, sedih sekaligus amarah. Di sampingnya Rozak duduk merangkul bahunya. Pasir pantai melumuri kaki-kaki mereka, memberikan sensasi damai.  Sesekali riak-riak kecil menyapunya. Di dekat batuan riang dua bocah bermain air laut. Sesekali Rianti menyusut air matanya dengan punggung tangannya. Rozak meraih bahu Rianti membawanya mendekat hingga kepala Rianti bersandar di bahunya. Menepis perasaan bersalah atas perundungan yang diterima istrinya oleh tetangga maupun sanak saudaranya.

“Tak perlu kau hiraukan perkataan mereka, kamu tetap wanita terbaik bagiku. Bagi anak-anak kita.”

“Lihat kedua anak kita Rianti. Belum tiga bulan mereka bersama, mereka sudah nampak sangat dekat bahkan aku melihat Nisha sangat bahagia. Aku sudah sangat lama tidak melihat Nisha tertawa hingga terbahak sepeninggal ibunya”

“Aku yakin kita bisa melewati ini semua dengan baik bersama anak-anak kita”

Rozak terus mengatakan hal-hal positif berharap Rianti akan tenang, tak lagi bersedih.

            Rianti adalah perempuan berdarah sunda yang terjual kehormatannya demi suatu hal yang sama sekali tidak masuk akal. Rianti ditinggalkan mantan suaminya yang kabur setelah kalah berjudi. Mirisnya sang mantan meninggalkan hutang dengan perjanjian tubuhnya sebagai alat pembayar. Rianti cantik tak berdaya ketika seorang lelaki paruh baya menggerayanginya dengan seringai,  lengkap berjaga para centengnya di luar bilik. Setelah puas lelaki itu menjualnya pada seorang pemilik café untuk dilacurkan ke pulau seberang.

***

            Malam itu Café Lemora ramai pengunjung. Di deretan meja bar, asap rokok membumbung. Beberapa lelaki hidung belang duduk sembari menikmati minuman. Mulai dari sekedar segelas kopi hingga minuman beralkohol dengan perempuan-perempuan berdandan menor di sisinya. Seorang wanita berambut sebahu dicat pirang duduk genit di pangkuan, seorang lagi berdandan korean bergelayut manja di sebelah seorang pria. Para penjaja cinta sesaat.  Rianti bersembunyi di sudut kamar belakang. Sudah tiga kali mucikari mengetuk pintu kamarnya untuk segera keluar. Tak bergeming. Rianti sibuk menghapus air mata yang tak henti mengalir.

“Baru ? “ Tegur Rozak pada sang mucikari di lorong menuju toilet. Rozak sempat memergoki wajah Rianti di sela pintu kamar yang terbuka saat pemilik café memaggil Rianti. Berdesir sesaat jantung Rozak.

“Nangis terus sudah nyaris seminggu ngga bisa dipakai” Keluhnya

“Aku boleh ketemu ngga ?”

“Waah sejak kapan kamu suka belanja barangku?”

“Yang ini beda”

“Kampret” maki pemilik café seraya membalikkan badan menuju bilik milik Rianti.

            Rozak adalah seorang sopir sebuah perusahaan yang menyuplai batu es untuk Café Lemora. Hampir tiga kali dalam seminggu Rozak keluar masuk café itu. Pemiliknya sudah sangat akrab dengannya dan tahu selama ini Rozak tidak pernah memakai pajangannya. Setiap kali ditawari selalu menolak dengan candaan-candaan ringan seperti “Ah, kurang cantik” atau dengan kalimat yang lain “Ntar deh belum ada mood” dan dalih-dalih lainnya.

            Bagi Rozak tidak pantas untuk bersenang-senang dengan perempuan-perempuan itu sementara anaknya setiap petang selalu taat belajar mengaji. Hutangnya pada almarhumah Rianti Nisha sangat besar hingga tak kuasa ia menodainya dengan hal-hal yang bejat.

“Keluarlah, ini ada orang baik-baik ingin menemuimu” Gendon, sang pemilik café mengetuk kembali bilik Rianti dan membukanya. Kali ini Rianti mengangkat wajahnya. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba merasa memiliki secercah harapan. Gendon tersenyum dengan seringai. demi melihat Rianti perlahan berdiri dari sisi ranjangnya. Merapikan rambut legamnya yang tergerai hingga pinggang dan menyapu sisa air mata dengan sehelai handuk di sandaran kursi. Melangkah keluar. Mata Gendon semakin berbinar, laksana melihat sekoper besar uang ratusan rRianti tengah melenggang. Angannya melambung pada pundi-pundi yang bakal penuh.

            Rozak duduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Ada dua kursi melengkapi meja kayu itu.  Di atas meja ada asbak dan sebuah kotak tissue. Lembar menu terselip di antara keduanya. Rianti melangkah sedikit ragu dan mengambil duduk di kursi yang tersisa. Rozak sejenak berdiri mengulurkan tangan menyebutkan namanya, Rianti mengikutinya.

“Nama yang bagus.” Entah dari mana Rozak bisa mengucapkan kata-kata itu. Sekilas seperti kata-kata rayuan. Tapi sejatinya Rozak sudah menyukai nama itu, mungkin setelah melihat empunya di keremangan kamarnya tadi.

            Tak banyak obrolan malam itu, Keduanya masih nampak sama-sama canggung. Sesekali Rianti mencuri pandang melihat wajah pria di sebelah kursinya, tidak seberapa tampan. Perawakan sedang. Rambut agak ikal. Rianti mencoba menebak usia Rozak sekitar satu atau dua tahun saja di atasnya. Sekali bertemu Rianti sudah bisa menebak Rozak bukan seperti laki-laki kebanyakan. Sudah hampir setengah jam mengobrol tak ada isyarat Rozak mengajak masuk bilik seperti kebanyakan pria-pria yang mengencani teman-temannya di café. Alih-alih Rozak malah mengajaknya keluar.

“Kamu pasti belum pernah melihat pantai kami di malam hari, di bawah rembulan” Ujarnya.

 Lantas berdiri mengajak Rianti. Di kejauhan Gendon melambai. Keduanya saling memahami isyarat yang terkirim.

            Tepian pantai Tanjung Pendam di bawah temaram rembulan sangat eksotik. Keduanya duduk bersebelahan.

“Bagaimana pantai kami, indah bukan ?” Rozak berusaha mencairkan suasana. Rianti tersenyum membuat darah Rozak berdesir.

“Kamu boleh cerita denganku tentang apa saja. Termasuk mengapa kamu sampai ada di Lemora” Ujar Rozak sambil memandang rembulan.

Entah ada kekuatan dari mana hingga Rianti dengan mudah menceritakan semua tentang masa lalunya hingga sampai terdampar di pulau ini.

“Anakku bersama dengan  mamahku di kampung” Ujar Rianti mengakhiri kisahnya.

“Kalau kamu mau, aku akan menemani perjalanan hidupmu selanjutnya Rianti”

“Jangan terburu – buru bang, kita baru kenal malam ini” Sanggah Rianti. Hati kecilnya surut tak ingin kecewa.

“Aku akan membawamu keluar dari café itu dan menikahimu” Timpal Rozak kembali. Rianti kembali menangis, terharu lantaran menemukan seorang pria yang menawarkan kehidupan lebih baik untuknya.

“Kamu boleh membawa anakmu bersama kita kalau kamu mau,” sambung Rozak kembali. Kemudian Rozak menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tentang istrinya yang meregang nyawa karena kanker rahim dan meninggalkan seorang putri belia yang saat ini berusia tujuh tahun.

“Aku tak ingin menutupi keadaanku. Aku masih memiliki seorang ibu yang sehari – hari mengurus kami berdua, aku ingin kita melanjutkan hidup ini bersama kalian”Ujar Rozak

“Aku tahu seperti apa ibuku. Aku yakin ibu akan menerima kalian dengan baik”Rozak meyakinkan.

 

***

       Bukan perkara mudah membaur bersama masyarakat pedesaan atau masuk ke dalam komunitas baru bagi orang asing apalagi sebelumnya sudah tersiar kabar kurang sedap yang dibumbui dengan aneka cerita. Rozak bukan orang yang terlalu taat agama. Tetapi bukan pula seorang berandal yang suka membuat onar ataupun perbuatan tak terpuji lainnya. Tetapi para tetangga seolah tak berpihak ketika mendengar Rozak akan menikahi seorang janda beranak satu yang ditemukan di sebuah café. Bahkan hingga perkawinan mereka sudah berumur tiga bulan dan Rianti sudah mulai telat menstruasipun tatapan tak sedap masih terus mengiringi langkah Rianti setiap kali harus keluar rumah ke warung atau ketika harus berpapasan dengan tetangga. Rianti dipandang seperti kotoran yang tak layak  berada di kampung mereka. Biasanya Rianti akan masuk kamar dan menangis. Entah sampai kapan ini bakal terjadi.

“Sudahlah Rianti, Bersabarlah. Nanti mereka akan mengerti dan menerima keadaan ini. Tak perlu kita mengatakan apapun pada mereka. Dan sebaliknya tak perlu kamu bersedih. Umak yakin suatu hari nanti semua bakal baik-baik saja. Tugas kamu sekarang meningkatkan ibadahmu, mengurus suami dan anak-anak kalian. Berdoalah, Allah yang akan memperbaiki semuanya”Umak Rozak menasehati Rianti. Entah sudah berapa kali Umak mengulang kalimat itu. Rianti merasakan ketulusan beliau. Menerima keberadaan Rianti. Bagi Umak kebahagiaannya adalah ketika anaknya Rozak dan cucunya Nisha berbahagia. Dan Umak sudah melihatnya. Apalagi ketika Cicih, anaknya Rianti diboyong dan berkumpul di rumah Umak, kehadirannya menjadi penyempurna kebahagiaan cucunya. Keduanya seumuran dan gelak mereka ketika bermain membuat rumah Umak menjadi hidup.

***

            Petang bermega, lembayung berpulas rona tembaga menghias ufuk,

menyambut matahari pulang 

Warna alam siarkan kala,

berkata pada malam yang menanti berjaga

pada rembulan yang mengendap di balik rimbun dedaunan taman.

Hari Minggu lusa akan diselenggarakan Selamatan kelahiran bayi Rianti dan Rozak. Rianti masih terkesima mendapatkan kenyataan dua hari ini. Hingga petang ini semua tetangga silih berganti berdatangan. Memenuhi rumah dan halaman. Sibuk memasang tenda, membuat aneka masakan. Menghias dan merapikan rumah. Dan yang lebih membuat Rianti terharu mereka demikian ramah kepada Rianti. Selaksa bermimpi. Rianti sudah satu bulan lebih tidak keluar rumah setelah pulang dari rumah bidan usai melahirkan. Umak melarangnya keluar rumah. Melarangnya bekerja. Dan banyak lagi larangan lainnya. Rianti hanya menurut. Baginya terlalu baik Umak untuk dilukai hatinya.

Di Belitung mempunyai budaya selamatan empat puluh empat hari. Kadang-kadang disebut juga sebagai selamatan lepas pantang. Selamatan ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh keluarga yang baru melahirkan bayi. Diselenggarakan pada hari ke empat puluh empat setelah kelahiran. Disebut sebagai selamatan lepas pantang karena selama empat puluh empat hari sebelumnya biasanya akan diberlakukan beberapa pantangan bagi ibu yang baru melahirkan dan bayinya. Seperti tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bekerja sama sekali. Hanya boleh tidur atau beristirahat dan duduk. Tempat pembaringannya didesain sedemikian rupa untuk memudahkan Rianti berbaring dan bangkit. Sebuah Kasur dibentangkan di atas sehelai tikar. Di bagian kepala akan disusun bantal-bantal sehingga posisi Rianti berbaring setengah duduk. Di atas pembaringan pada langit-langitnya diikatkan sebuat tali yang berjuntai hingga dapat diraih dan digunakan Rianti sebagai alat untuk mempermudah bangkit dari pembaringan.

Selama empat puluh empat hari akan diberikan makanan yang kebanyakan diolah dengan cara merebus tanpa cabai. Tidak diberikan makanan yang memungkinkan timbul gatal dan diare atau gangguan lainnya. Beberapa bahkan melarang makan telur atau jenis ikan tertentu. Bak seorang putri makanan akan diantar hingga di sisi pembaringan Rianti. Sehingga Rianti tidak perlu meninggalkan pembaringan. Rianti cukup bergeser dan memindahkan kedua kakinya untuk bersimpuh. Rianti sangat diperhatikan dan dijaga, seperti ibu-ibu pasca melahirkan lainnya di pulai ini.

Budaya ini cukup bagus jika dipandang dari sudut kepedulian keluarga terhadap ibu yang usai melahirkan akan tetapi di sisi lain ada beberapa hal yang kurang tepat seperti mobilitas ibu usai melahirkan yang semestinya diterapkan untuk mempercepat pemulihan, gizi ibu usai melahirkan yang seharusnya tidak perlu diberikan pantangan sehingga makan lebih lahap dan produksi ASI berlimpah serta kesehatan ibu menjadi lebih sehat. Dan tentang personal hygine yang terkadang kurang terjaga karena ibu dikondisikan untuk banyak berbaring sehingga jarang ke kamar mandi untuk membersihkan organ reproduksinya. Belum lagi adanya larangan keluar sebelum empat puluh empat hari. Hal ini sering berseberangan dengan hak bayi untuk mendapatkan imunisasi segera sesudah lahir sehingga menjadikan bayi harus menunda mengunjungi Posyandu sebagai akses terdekat layanan kesehatan.

Seiring berjalannya waktu dengan edukasi dari para petugas kesehatan, norma ini berangsur dapat bersinergi dan saling menyesuaikan antara budaya, kaidah kesehatan dan kebijakan pemerintah yang berlaku.

“Makan dulu Rianti”Seorang wanita paruh baya menegur Rianti dan mengangsurkan sebuah nampan berisi makanan lengkap. Satu piring nasi putih dengan satu ekor ikan goreng dan satu mangkok sayur selabor, salah satu jenis sayur yang sering disajikan pada hari-hari mendekati pesta. Sayuran ini berisi daun katuk, potongan ubi jalar, kacang panjang, ketimun, aneka sea food seperti udang dan kerang yang kuahnya hanya berbumbu tiga macam saja, yaitu cabai, terasi dan garam. Rasanya sangat gurih dan segar.

“Ayo dimakan. Sudah selesai berpantangmu, Rianti” Bibinya Rozak seperti menjawab keraguan Rianti yang tertegun memandang lauk pauk yang tersaji tidak seperti hari-hari kemarin. Rianti tersenyum dan menerima nampan dari tangan Bibi Rum. Air Matanya nyaris jatuh. Mendapati semua orang begitu perhatian dan mendukungnya. Betapa Bibi Rum membuang muka saat pertama melihat kehadiran Rianti di rumah Umak.

“Maafkan bibi, Rianti” Seperti mendengar suara hati Rianti, Bibi Rum meraih tubuh Rianti ke dalam pelukannya.

Sekonyong-konyong dari pintu kamar menghambur ke dalam beberapa ibu-ibu muda menghampiri Rianti.

“Selamat ya, Rianti. Anaknya sehat dan lucu.”Salah seorang di antaranya menyalami Rianti,  mengangsurkan sebuah amplop diikuti ibu-ibu yang lainnya. Mereka tetangga dekat. Biasanya tetangga dekat akan menemui pemilik acara sehari atau dua tiga hari sebelum  pesta dan memberikan amplop sumbangan alakadarnya. Mereka setiap hari akan datang menolong dan makan bersama keluarganya di rumah pemilik acara. Rianti tak mengatakan apa-apa, terkesima mendapatkan semuanya. Hingga mereka keluar kamar Rianti baru terjaga dan terbata-bata mengucapkan terimakasih.

***

            Alunan musik orgen tunggal menghiasi  suasana pesta. Aneka sajian memenuhi meja-meja. Tekwan, empek-empek, somay, bakso ikan khas Belitung,ada juga sajian nasi lauk lengkap dengan kuah gangan, yang merupakan salah satu jenis masakan Belitung dengan bumbu kunyit mirip lempah kuning di budaya melayu. Tak ketinggalan aneka minuman mulai dari es bubur dawet khas Belitung dilengkapi tape singkong, es teh dan es krim ala-ala. Di salah satu meja tersaji satu nampan besar berisi jajanan ala Belitung seperti, dudul, wajit, cucur, dadar gulung juga jungkong, yang terbuat dari tepung dengan gula merah berada dibagian bawah. Rasanya manis dan gurih.

Para tamu silih berganti datang memberikan ucapan selamat pada Rianti dan Rozak yang berdiri dengan bayi mungil dalam gendongannya. Wajah Rianti berseri-seri. Hidupnya serasa sangat lengkap. Rianti sangat bahagia mampu memberikan seorang putra bagi Rozak. Alhamdulillah Allah mengabulkan doa mereka ingin memiliki seorang putra. Mereka sudah memiliki dua bocah perempuan yang berdiri di sisi Rianti melengkapi barisan penyambut tamu. Nisha dan Cicih. Keduanya berkali-kali saling memandang dan tersenyum. Mereka menikmati jalannya pesta. Sejak usai sholat dhuhur keduanya sudah duduk menanti di kamar Rianti. Menanti untuk di make up, seperti kebanyakan anak-anak lain jika keluarganya menyelenggarakan pesta.

Tiba-tiba dari balik kerumunan tetamu seorang lelaki bertubuh tegap merangsak masuk. Rianti tercekat. spontan tangannya tegang mencengkeram lengan Rozak. Cicih dan Nisha menghambur bersembunyi di belakang Rozak. Para tetamu tertegun mendengar pekik ketakutan Rianti. Sontak semua mata tertuju pada mereka. Lelaki tegap itu terus melangkah tak hiraukan apapun. Tangannya sigap meraih tangan Rozak. “Terimakasih, kamu sudah mau menjadi ayah yang baik bagi Cicih anakku. Jaga mereka. Maafkan aku telah merepotkan kalian” Suara itu datar. Hanya sesaat kemudian bergegas meninggalkan pesta. Rozakpun belum sempat berkata apa-apa. Rianti limbung.

Seroja menebar pesona bagi pemuja nan tulus

tinggalkan perih pada luka yang tercabik tiada henti

camar biru terbang tanpa tepian meraba batas yang tiada kira

usai sudah cinta, hanyut sudah cita

 

SEKIAN


       Dia adalah Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb seorang bidan yang memiliki hasrat besar menulis. Semasa sekolah menengah sering berkirim puisi di majalah lokal. Namun sekarang  terkendala dengan kesibukannya sebagai ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung. Dia memilki seorang suami dan dua orang putra. Terlahir sebagai putri pertama pasangan bapak dan  ibu guru di sebuah desa kecil di Kabupaten Purworejo. Usai mengikuti Program Pendidikan Bidan Aisyiyah di Yogyakarta, awal tahun 1992 hijrah menunaikan konsekwensi menjadi bidan di pulau nan eksotik, Belitung. Mimpinya terus melambung untuk menjadi penulis, hingga saat ini. Bahkan kiprahnya di persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah sering dijadikan objek sebagai pelepas hasrat menulis.  Dan berkat inisiasi sahabatnya dia sudah memiliki 2 Buku Antologi Cerpen Bersama Tim Tinta Aksara. Bila ingin mengenal tulisannya lebih dekat bisa melalui blog yang dirilisnya sejak 2015. 

Di :  https://dafirastory.blogspot.com/2022/05/html

                                                                 


                                                                                                                             

                                                                                                                                                                                                  


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...