Selasa, 24 Mei 2022







TAMU

oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb


Jelita bantalan kursi bercerita 

tentang tamu yang bakal tiba 

roncean nyiur melambai manja di gapura 

geliat seroja menanti sapa  

suguhan aneka selera dalam tembikar moyang kuak pesona lama 

bangkitkan rindu yang berbisik 

gelas - gelas tegak pada tatanan meja tiada sahaja 

gerlap berkuasa muliakan tandang tamu 

binar mentari tiba pada eloknya hari 

embun berpendar atas berkasnya 

menembus hingga cantikkan bunga bunga 

meliuk merambah mencipta aura 

tetabuhan mengalun mengiring gemulai langkah  

senyum merekah mengiring pada paseban agung

semerbak melati membawa sakral hantarkan tamu 

dara pujaan tertunduk dalam hikmad 

kidung cinta melenakan hingga usai kata 

sisakan sebentuk senyum dan seulas rona di atas tulang pipi 

simbol cinta dan rela 


                                                                                                
                                                                                                            Air Seruk, 24 Mei 2022

Minggu, 22 Mei 2022

 

TARIAN PELANGI

Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

 

Tarian pelangi belum usai

aku masih ingin menyimpannya dalam pandangku

agar berpendar ke seluruh jiwaku

gantikan semua lara dengan setumpuk warnanya

kilahku pada rembulan tak lagi didengar

pergi melenggang bagai aku tiada

mestinya kunikmati ronanya yang mengemas genit disunting ranting cemara

barangkali senandung cintaku tak lagi bermakna

ditepis angin yang berlari

atau mungkin aku kurang kuat menyematnya

malam sisa sepertiga 

biarkan sujudku tak bertepi

mengiba kasih pada sang pemilik cinta

mungkin nestapa kan sirna

hilang semua pekat

 

 


SEBAIT BAGIMU SAHABAT

Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

 

Ilalang bukan liar merambah padang

hanya segenggam rasa yang berdendang

hakikatnya adalah perdu yang solid di sekitar

menjadi penanda subur bentang alam

padamu sahabat

kugali penggalan kata untuk kutautkan

bagi asaku yang lama tertunda

padamu sahabat,

kubertandang  hingga usai untaian

meronce satu per satu prosa dan gurindam serta bait puisi

padamu sahabat

betapa kumerindu dalamnya kata dan luasnya antologi

dan bukan mimpi

                                                                                                                                                               

                                                                                                                                Air Seruk, 22 Mei 2022

Sabtu, 21 Mei 2022

 


AIR MATA

oleh : Wahyu Heany Prismawati

 

Sera masih termenung jemarinya memainkan telepon genggam, entah sudah berapa lama berlalu. Kepalanya penuh dengan kalimat-kalimat yang ingin diucapkan tapi entah sudah berapakali dikoreksinya dalam diam. Takut melukai. Sesekali punggung tangannya menyusut air mata di ujung pelupuk, mengalir tanpa isak. Guntur adalah pria pujaan tapi tak dapat untuk dimiliki. Guntur terlalu mencintai ibunya. Tak ingin hati ibunya terluka. Bagi Guntur ibunya adalah segalanya. Biar saja luka menoreh kepingan hatinya. Guntur rela, ia meyakini cinta ibunya yang akan menyembuhkannya kembali.  Guntur tahu keputusannya sangat melukai hati Sera yang saat ini duduk di sampingnya. Tapi dia merasa harus menyelesaikan dengan segera. Guntur begitu yakin Allah akan menggantinya dengan pasangan yang lebih mulia bagi keduanya.

                Guntur tak berani memandang perempuan di sampingnya. Tak ingin gamang datang hingga menghancurkan semuanya. Dia bisa merasakan betapa Sera sangat terpukul dengan keputusan ini. Karena mereka memiliki perasaan yang sama.

 “Maafkan aku Sera, mari kita lewati perjalanan di depan sana tanpa saling menyalahkan. Menerima kenyataan ini dengan ikhlas agar tak ada luka dan amarah.  Semoga kamu lekas mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku.” Diam. Tak ada suara. Bahkan angin enggan berdesir. Nyaris setengah jam berlalu tanpa kata.

“Mari Sera, biarkan aku mengantarmu pulang. Sekali lagi maafkan aku” ujar Guntur seraya beranjak dari bangku taman. Sera beranjak nyaris limbung, menatap sekitar taman dengan mata nanar, ufuk barat yang biasanya mempesona menanti matahari pulang kali ini membeku tanpa rasa.

                Hubungan itu kandas setelah nyaris satu tahun dipertahankan tanpa restu Ibunya Guntur. Entah berapa kali pembahasan dilakukan namun tiada titik temu. Guntur pemuda yang taat agama. Cintanya pada ibunya sangat besar, tak mampu dia menukarnya untuk sekeping cintanya pada Sera, perempuan yang telah mengisi relung hatinya belakangan ini.

Langkahnya pasti meninggalkan rumah Sera, menuju pulang. Kelopak matanya basah tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman.

“Ibu, aku telah memenangkan pertarungan ini. Aku tak ingin menyelesaikan perjalanan ini tanpa ridamu, aku tak akan membiarkanmu terluka oleh apapun, apalagi karena ulahku.”

Seorang perempuan berabaya moka duduk di kursi kayu, sebuah buku tipis ada di tangannya. Agak lusuh karena terlalu sering dibuka. Sebagian wajah mungilnya terlindung jilbab lebar yang menjela hingga kedua bahu. Beberapa kerutan menghias sekitar kedua matanya. Hidung bangirnya menyisakan kecantikan masa lalu.  Bibirnya bergerak – gerak dengan suara lirih dan jemarinya sesekali membuka buku tipis di tangannya. Layaknya orang sedang menghafal.

Pintu pagar di depan rumah bergerak, sepasang kaki melangkah lebar-lebar melewati perdu yang tertata di sepanjang koridor. Setiba di teras senyumnya mengembang. Guntur bergegas meraih tangan ibunya membawanya mendekat bibirnya dan mencium berulang-ulang.

“Ibu, aku sudah berhasil meninggalkannya. Terima kasih atas doa-doa ibu selama ini” Guntur meraih tubuh mungil ibunya dan memeluk dengan erat.

***

Meskipun sudah satu tahun berlalu seluruh rangkaian cerita itu tidak hilang begitu saja di benak Khadija. Hari ini ia sangat bahagia. Guntur putra sulungnya  mempersunting Aisha. Gadis desa yang pernah berkuliah di kota dan saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Gadis dengan akhlaq mulia, memiliki pergaulan yang terjaga. Paras rupawan dengan postur tubuh semampai. Kedua pipinya sesekali terlihat memerah tersipu. Gadis pemalu.

Khadija secara diam – diam meminta bantuan seorang teman lama untuk membuka hati Guntur untuk Aisha. Sekedar berkenalan melalui sosial media. Pastinya berkat pertolongan Allah sehingga semua berjalan dengan mudah. Sampai hari ini Guntur tidak mengetahui bahwa ibunyalah yang mengkondisikan sehingga ia mengenal Aisha dan jatuh hati kepadanya. Sesungguhnya Allah yang meletakkan cinta Guntur bagi Aisha. Alhamdulillah.

Pesta kebun sederhana dipadati kehadiran keluarga besar Aisha dan Guntur serta sahabat dan handai taulan keduanya terselenggara dengan hikmad. Aldaf yang merancang semuanya. Adik Guntur satu-satunya. Kebun belakang rumah mereka berhasil disulap menjadi sebuah taman nan indah. Aldaf tampak berbakat menanganinya. Hamparan bunga tertata dari mulai masuk halaman rumah. Beberapa gapura cantik berhiaskan bunga-bunga dan sehelai selendang yang bergelung dengan ujung yang berkibar melambai mengisyaratkan sebuah pesta. Bentang setapak meliku dari potongan-potongan batang albasia seperti pualam yang berbaris menuju area pesta. Ada tiga gapura cantik sepanjang setapak dari parkiran hingga area pesta. Beberapa muda mudi berbaris di tiga gapura menyambut tetamu. Mereka sepupu – sepupu Aisha dan Guntur. Khadija pernah berpesan,

 “Nanti yang menyambut tamu sepupu-sepupu kalian atau pasangan-pasangan yang sudah halal ya,”

“Baik ibu” janji perias pengantin pada saat itu. Khadija sangat berhati-hati. Ia menginginkan anak-anak dan keluarganya terjaga dari maksiat.

Perhelatan nan islami. Dengan menggunakan pakem pesta kebun. Bangku-bangku taman dari kayu hadir di bawah pokok matoa yang rimbun. Beberapa sengaja dipadukan dengan payung-payung taman. Sajian hidangan ditata di atas meja-meja yang berpencar di area taman. Masing-masing dijaga oleh gadis-gadis berkerudung nan ramah melayani tetamu yang hendak mengambil hidangan. Celoteh tetamu ditingkah denting sendok beradu mewarnai alunan lagu-lagu gambus yang dilantunkan oleh sekelompok pemusik, penyanyinya tampak anggun berbalut pakaian panjang dengan jilbab yang menjela. Sayup-sayup lirik Deen Assalam merebak menebarkan kesyahduan pesta.

Sesaat Khadija tersentak melihat pasangan yang melangkah mendekati pelaminan. Seperti diberi aba-aba mereka yang ada di panggung pelaminan berdiri serempak. Semakin dekat pasangan itu berjalan menghampiri. Perempuan dengan rambut sebahu diurai, mengiring di sisinya seorang laki-laki berbadan tegap. Tangannya selalu menggamit jemari perempuan di sampingnya. Perempuan itu Sera. Senyumnya mengembang sejak dari pintu masuk. Tangannya sesekali memegang perutnya yang sedikit membuncit. Melangkah dengan kehati-hatian.

“Terima Kasih ya, sudah menyempatkan datang”

“Wah sudah kelihatan ya, kapan ini taksiran melahirkannya.”sambut Khadija.

“Masih empat bulan lagi tante” jawab Sera. Khadija memandang mata Sera tak menemukan kebencian di sana. Terbersit pada sebagian doa-doanya waktu itu,

“Ya Robb, berikan keduanya segera pasangan yang lebih baik dari saat ini. Engkau adalah Dzat yang berkuasa atas setiap hati.” Alhamdulillah.

Senyum Khadija masih mengembang mengiring pasangan muda itu berlalu. Dengan ekor matanya Khadija melihat Guntur dan Aisha sibuk menyalami tamu berikutnya. Keduanya sesekali beradu pandang. Betapa mereka tampak sangat bahagia. Khadija duduk Kembali, tangannya menyodorkan minuman kepada Umar di sampingnya. Suami yang sangat dihormati dan dicintainya.

Keduanya telah bersama dalam perkawinan selama tidak kurang dari tiga puluh dua tahun. Berbagai cerita suka dan duka banyak mereka lewati. Dengan keberkahan Allah semua tetap menjadi indah. Semula Umar seorang ayah yang sangat jarang berbicara. Khadija sering mengingatkan bahwa kita sebagai orang tua akan diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti. Tentang apa yang sudah kita lakukan untuk mendidik, membesarkan dan memberikan pedoman hidup bagi anak-anak  yang telah Allah titipkan kepada kita,

“Sampaikan sesuatu kepada mereka. Jangan diam ketika melihat hal yang tidak sesuai dengan kaidah agama kita” ujar Khadija di tiap kesempatan.

“Berbicara menasehati anak tidak akan menurunkan martabat seorang ayah. Justru sebaliknya akan membangun kedekatan. Nasehat dari ayah akan lebih didengar oleh anak-anak secara teori psikhologis karena Allah telah menganugerahkan bagi seorang ayah suara yang sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan  wibawa. Manfaatkan itu untuk mendukung nasehat-nasehat ibu yang sudah sering diperdengarkan setiap hari” Khadija terus mengulang dan mengulang. Dan Allah menjawab doanya. Semua karena Allah. Umar perlahan berubah karena Allah bukan karena Khadija. Khadija hanya berdoa di setiap penghujung malam,

“Ya Robb, hamba menginginkan suami hamba hatinya terpaut pada masjid, jiwanya dikuasai cinta Alquran, penghujung malamnya dihiasi sujud, menyayangi keluarga dengan lisan dan raganya.” Dan Khadija telah mendapatkan semuanya. Betapa Rahman dan Rahimnya Allah.

Pesta usai. Khadija tersenyum ketika Umar meraih jemarinya mengajak turun dari panggung pelaminan. Aldaf di bawah menyambutnya.

“Mari ibu, kita foto lagi di booth – booth cantik itu. Sayangkan Aldaf sudah membuatnya dengan sangat indah kalau ibu tidak berfoto di sana.” Ujar Aldaf sambil menggamit lengan ibunya. Khadija hampir tidak menyadari rangkaian foto keluarga di atas panggung pelaminan tadi. Pikirannya dipenuhi lamunan-lamunan yang membuatnya sangat bersyukur dengan ketetapan Allah yang ia terima.

“Mbak sini,“ seseorang melambaikan tangannya. Adik Khadijah yang datang dari jawa beberapa hari sebelum perhelatan. Semua adik-adik Khadija datang.

“Foto di sini kita mbak, jangan melamun terus mbak sayang.” Dwi seperti tahu sepanjang pesta tadi senyum kakaknya mengembang tetapi sebagian tatapannya melamun. Itulah persaudaraan. Selalu ada temali yang tak tampak di hati masing-masing. Khadija memeluk Dwi sangat erat, menahan air mata yang sedari tadi memaksa mengalir. Seorang perempuan sepuh berusia tujuh puluhan duduk di salah satu kursi, jemarinya menyusut air mata demi memandang kedua anaknya berpelukan. Lantas sesaat keduanya menghambur dipangkuan ibu. Aldaf memandang dan menghela nafas,

“Ahh, perempuan. Sebagian dari ciptaan Allah yang air matanya demikian sakral dan mampu meruntuhkan segala bentuk ketidak mungkinan“ujar hatinya dalam senyum.

 


Mendamba Rida

oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb


    Rida atau Ridho dalam lafaz bahasa arab. Sepotong kata yang mampu menepis banyak hal terkait keburukan dunia dan akhirat. Tak semua jiwa diberikan sebuah kesadaran memahami kedalaman maknanya. Barangkali memerlukan pembuktian dengan perjalanan yang diwarnai pahit getir hingga terjaga dari kebodohan.  Sayangnya kita hanya memiliki sedikit saja kesempatan. Saat ini milik kita. Entah sekian detik berikutnya. Tak ada satupun teori yang mampu menjamin kepastian. Hanya Allah pemilik kepastian. Seandainya saja kita tahu masih seberapa panjang perjalanan ini barangkali kita akan sepanjang sisa waktu mengejar Rida Allah,  rida orangtua dan rida sesama mahluk. 

    Perjalanan kita laksana cermin. Yang kita dapatkan hari ini adalah cerminan polah kemarin dan yang kita perbuat hari ini bakal kita tuai besok, lusa atau kelak.  Usah dipertanyakan dengan apa yg kita hadapi saat ini,  renungkan saja apa yang telah kita temukan diperjalanan ini.  Pastikan langkah kita  di jalan  Allah dan RosulNYA agar kelak tiada penyesalan ketika menuai.  Semoga kita tergolong orang-orang yang mendapatkan keberkahan usia.  


 وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا . 
   

    "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."

    Robbi habli minassholihin
   Sepotong doa nan dalam yang selalu menjadi idola para orang tua demi mendapatkan anak keturunan yang sholih. Yang akan menjadi asset bagi kehidupan selanjutnya. Kehidupan akhirat. Ketika  anak manuasia telah dipanggil pulang ke kampung halamannya sesungguhnya segalanya telah terputus kecuali 3 hal, sebagaimana dalam hadist Rosulullah SAW yang berbunyi demikian,
    Artinya:

    Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rosulullah Saw. bersabda: ”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)

    Anak keturunan diibaratkan aset bisnis. Sekilas mengingatkan pada bisnis Multi Level Marketing yang menjanjikan keuntungan mengalir. Sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat jelas. Diantara perbedaan yang sangat mendasar adalah terletak pada garansi dan keabadian. Berbisnis dengan Allah adalah sebuah bisnis dengan kepastian garansi dan keabadian karena berbicara akhirat sekaligus  sang pemilik kepastian. Tidak halnya dengan Multi Level Marketing.
    Mencetak generasi rabani bukanlah mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi. Dari mulai cara perolehan rizki dan pengelolaannya, adab perilaku akhlak pasangan suami istri hingga faktor lingkungan pergaulan yang ikut membentuk sebuah kepribadian. 
    Dengan rizki yang diperoleh secara halal dan baik kemudian dikelola sebagaimana hak dan kewajiban seorang muslim maka akan membentuk jiwa dan raga yang rabani. Terlebih dengan perilaku adab dan akhlak ayah dan ibu yang merupakan sebuah contoh terdekat dan sejak dari dalam kandungan direkam oleh anak-anak dengan sangat baik. Pun dengan lingkungan yang setiap saat membersamai hidupnya. Lingkungan keluarga, lingkungan bermain, lingkungan sekolah atau lingkungan yang lainnya yang menjadi tempat anak-anak saling berkomunikasi dan berinteraksi. Kesemuanya saling berkaitan dalam membentuk sebuah kepribadian. 
    Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah doa. Allah menempatkan rida dan doa orang tua sedemikian rupa karena memiliki makna dan kekuatan yang besar dan luar biasa. Seorang ibu sebaiknya selalu menjaga dengan baik perkataannya. Doanya mustajab, makbul tak terhalang.  Jangan pernah sia-siakan keberadaannya semasa hidup. Ketika keduanya telah tiada. Pulang dipanggil Allah tiada lagi kekuatan itu. Hilang bersama kepulangannya kepada Allah. Dan sebaliknya pula sebagai anak yang sholih tentunya tinggal kita yang mendoakan keduanya. Berdoa, bermunajat kepada Allah,  interopeksi,  bermuhasabah diri atas segala tingkah laku kita kepada orang tua. Raihlah rida keduanya karena kita menginginkan hal yang sama bahkan lebih baik bagi anak keturunan kita. Anak keturunan yang sholih yang tumbuh mengisi kehidupannya dengan amal sholih serta bila saatnya tiba pulang kepada Allah ada di dalam ridaNYA. 
    Sesungguhnya rida Allah adalah rida kedua orang tua.
    Fastabihul Khoirot.

Kamis, 19 Mei 2022

 



SILATURRAHIM KELUARGA MUHAMMADIYAH DAN AISYIYAH KABUPATEN BELITUNG DI PETERNAKAN LEBAH TRIGONA

                                                    Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb                                                   Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung


      Sebagai organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki pengikut dan simpatisan yang solid. Warga Muhammadiyah dan Aisyiyah dikenal dinamis dalam berbagai kegiatan positif. Amal Usahanya tersebar di seluruh negeri. Milad Aisyiyah 105 tahun ini mengambil tema Perempuan Mengusung Peradaban Utama. Mengembangkan karakter sebagai keluarga berkeadaban, keluarga yang memiliki kasih sayang, saling menghargai, saling menghormati dan saling memuliakan.

      Sejalan dengan hal tersebut Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Belitung juga memiliki agenda kegiatan di setiap bulan dengan menggelar silaturrahim di rumah salah satu warganya secara bergantian. Kegiatan sederhana, yang diawali dengan Tausyiyah dilanjutkan dengan beramah tamah menikmati sajian hidangan rumahan sambil mengobrol membahas kegiatan di organisasi maupun bahasan ringan lainnya yang diselingi dengan foto-foto. Betul, belum lengkap rasanya kegiatan tanpa foto-foto. Huforia gelak tawa saling olok akan mencairkan suasana dan menambah kedekatan kami sebagai satu keluarga persyarikatan. Dan selalu ada bahan yang bisa dijadikan candaan. Terlebih hari ini.

      Silaturrahim kali ini berbeda, sangat tematik. Hari ini kami diundang Bapak Agus Sulistiadi dan Ibu Ida Susanti bertandang ke kebun mereka. Janji pukul 09.00 WIB tiba di lokasi. Melar menjadi pukul 10.00 WIB bahkan ada yang baru tiba di lokasi setelah kami rombongan pertama pamit pulang. Tak mengapa. Kejadian - kejadian lucu hari ini menjadi kenangan indah kebersamaan kami. 

      Lokasi kebun beliau secara geografis tidaklah terlalu jauh ataupun sulit dijangkau. Apalagi bagi yang pernah berkunjung. Dan lokasinya sudah cukup familiar bagi masyarakat sekitar. Hanya saja banyak jalan alternatif yang bisa dipilih untuk menuju lokasi tersebut. Kenyataan ini justru yang membuat kita menjadi kesulitan jika bertanya kepada masyarakat yang kita temui di perjalanan. Mereka cenderung menunjukkan jalan yang berbeda satu sama lain. Sehingga malah semakin membingungkan. Sebetulnya hal ini sudah diantisipasi oleh ahlul bait, Bapak Agus Sulistiadi dengan menggambarkan denah menuju kebun beliau dengan sangat jelas dan beliau kirim ke grup whatsapp. Hanya saja terkadang kita kurang istiqomah dengan petunjuk yang ada. Seperti yang terjadi hari ini. Beberapa ibu tersesat hingga harus dijemput. Tentu saja kejadian ini malah membuat kegiatan ini semakin seru dan menjadi bahan candaan. 

      Penat dan kendala perjalanan langsung terbayar lunas begitu sampai di lokasi. Sebentuk rumah mungil dengan halaman tak seberapa luas dipadati dengan tanaman bonsai jenis Hokianti, kemuning, Santigi dan lain-lainnya gagah bertengger pada meja - meja pajangan yang tertata. Beberapa Aglonema membaur membuat tampilan beranda depan menjadi semakin elegan. Masuk lebih dalam kami disambut dengan indahnya antigonon leptopus sang bunga air mata pengantin, Xanthos Temon dan tumera suburata alias bunga pukul delapan berbaris mengembangkan kelopak kuningnya nan rupawan. Semakin menawan dengan kehadiran varietas tanaman lainnya yang merebak di seantero kebun. Rata-rata jenis tanaman kegemaran lebah trigona. Kemudian di kanan kiri setapak berbaris pokok - pokok kayu rumah lebah lengkap dengan nomornya. Kata beliau "Seperti mobil harus punya BN yu, supaya ngga salah" canda pak Agus diiringi gelak tetamu, ketika disinggung masalah angka-angka yang tertera pada setiap rumah lebah.

      Di salah satu sudut kebun beberapa ibu berceloteh tentang perjalanannya dari rumah hingga tiba di lokasi, sebagian yang lain asyik mengagumi indahnya bunga-bunga, ada juga yang sibuk berpose sambil menyedot langsung madu lebah trigona dari kantong-kantong (pot) madu. Tentu saja tidak lupa menggunakan sedotan khas produk lokal. Sedotan purun. Sedotan yang terbuat dari tanaman purun yaitu semacam tanaman liar yang sejak dahulu para tetua di Belitung menjadikannya sebagai bahan utama untuk menganyam tikar dan produk - produk konvensional lainnya.

       Purun mempunyai rongga besar yang memungkinkan dan bermanfaat untuk menyedot air dan hanya bisa tumbuh di lokasi rawa di Belitung. Kami sangat berbangga demi melihat tayangan Bapak Sandiaga Uno Menteri Pariwisata dan ekonomi kreatif menampilkan sedotan Purun pada pidato beliau di sidang tahunan PBB, beberapa kesempatan yang lalu. Terimakasih Bapak Menteri.

      Adalah Bapak Agus Sulistiadi sang owner kebun dan ternak lebah ini seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung, Ide kreatifnya patut diteladani. Sejak sebelum pensiun beliau sudah menyiapkan tempat ini untuk dijadikan pengisi waktu hari-hari beliau semasa pensiun. Bukan setengah - setengah beliau menekuninya. Segala sesuatunya terkait Lebah Trigona telah beliau siapkan sedemikian rupa bahkan beliau menggandeng mitra salah satu bank di Kabupaten Belitung sebagai bentuk kesungguhan beliau. Tidak hanya itu, di salah satu dinding telah terpajang sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia melengkapi deretan foto-foto kegiatan peternakan lebah trigona miliknya.

      Lebah Trigona adalah salah satu jenis lebah tanpa sengat terbesar atau yang biasa dikenal masyarakat dengan sebutan lebah klanceng, hidupnya tidak hanya bergantung dengan polen bunga seperti lebah madu jenis lainnya. Dikenal sebagai penghasil madu dan propolis yang banyak manfaat. Propolis semacam getah yang dikumpulkan lebah dari tanaman bergetah disekitarnyaPropolis dikenal berkhasiat karena kandungan antioksidan, vitamin dan mineral serta asam amino esensial.

       Allah SWT bahkan memberikan nama An Nahl yang berarti lebah pada salah satu surat dalam Alquran. Bukan tanpa maksud. Secara filosofi Lebah memiliki sifat - sifat positif yang semestinya diadopsi pada tatanan kehidupan kita sehari - hari. Lebah merupakan hewan pekerja, memiliki persatuan atau koloni, berjamaah. Memberikan banyak manfaat bagi makluk lain. Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menafsirkan kata “an” di dalam An Nahl sebagai “an” mashdariyah atau mufassiriyah yang berarti ilham yang diberikan kepada lebah berupa sarang untuk tempat tinggal. Sarang tersebut bisa bertempat di bukit-bukit, pohon-pohon, atau tempat-tempat yang telah disediakan maunusia. Sedang Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memberikan pengertian bahwa lebah telah diberikan Allah ilham untuk menyelesaikan semua persoalan hidupnya. Termasuk juga dimudahkan Allah bagi lebah dalam membuat sarang di gunung-gunug, celah-celah pepohonan, maupun pucuk-pucuk rumah manusia. Wallohu'alam bissawab.

      Suasana kebun meredup. Di sebagian langit menggantung mendung. Kami masih mendengarkan tausyiyah Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Bapak H.Muhammad Turfan Amir, S.Pd. Hari ini beliau mengulas tentang klasifikasi seorang muslim dalam beberapa tahapan, Muslim yang pertama kata beliau adalah muslim pengakuan. Muslim yang diakui dalam bentuk atribut-atribut identitas diri. Yang kedua adalah Muslim yang mukmin, beriman. Kemudian muslim yang mukhsin, seorang muslim yang penuh dengan ikhsan dalam beribadah tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain. Ikhlas. Tahap selanjutnya adalah seorang muslim yang mutaqin, yaitu senantiasa menjaga diri dari larangan Allah dan mengerjakan segala sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Allah. Dalam tausyiyahnya beliau juga mengajak kami semua yang hadir untuk menjadi seorang muslim yang paripurna. Kita telah ditempa dalam satu bulan romadhon untuk memperbaiki kwalitas hidup kita pada sebelas bulan selanjutnya. Muslim paripurna memiliki kepekaan terhadap sekitar sehingga mampu memberikan manfaat dalam hidupnya. Lebih lanjut secara spesifik beliau juga menyampaikan definisi jin sebagai mahluk Allah yang pertama diciptakan dari api, hingga ketika membangkang tidak mau bersujud disebut  sebagai iblis. Sedangkan sebutan syaiton adalah pada makna sifat. Yaitu sifat dari iblis yang membangkang.

      Hanya beberapa menit saja beliau bertausyiyah dilanjutkan dengan acara makan-makan dan mengobrol. Menu makan siang tersaji. Kami bergiliran mengisi piring dengan aneka lauk yang tersaji. Nasi putih dengan sayur asam lengkap disertai ikan goreng, lalapan, kerupuk dan sambal belacan. 

      Belacan adalah sebutan terasi bagi masyarakat Belitung.. Terbuat dari udang segar yang diproses dengan fermentasi. Karenanya terasi Belitung terkenal enak dan menjadi salah satu dari sekian banyak oleh-oleh lainnya yang wajib dibeli. Bagi penggemar terasi, rugi apabila berwisata ke Belitung pulang tanpa terasi Belitung. 

      Kelakar para ibu ditingkah denting sendok terhenti sejenak ketika Ibu Ida mendekat dengan sekeranjang botol-botol madu di tangannya. "Bagi souvenir dulu ya" Sontak ibu-ibu Aisyiyah bersorak girang, "Alhamdulillah, murah-murah rejeki ya bu" salah seorang ibu berujar dan disambut "Aamiiinn" serempak oleh ibu - ibu Aisyiyah yang lain. Satu persatu Ibu Ida membagikan. Kami semua membawa pulang madu Lebah Trigona, hari ini. Sehat selalu Bapak Agus Sulistiadi, Ibu Ida Susanti dan keluarga. Semoga Allah berikan keberkahan atas rejeki. 

        Hari semakin siang, kami mulai berkemas untuk pulang menyongsong Adzan Sholat Dhuhur yang tidak lama lagi akan berkumandang. Kami pulang dengan tangan penuh. Sebotol madu lebah trigona dan aneka tanaman bunga. Hari yang indah, berkah silaturrahim. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahim." (HR. Bukhari) [Shahih No.5986 Versi Fathul Bari] 

Minggu, 15 Mei 2022

MAAFKAN AKU

Oleh : Wahyu Heany Prismawati

 

Akralku dingin jauhi batas rasa

menebar hingga memeluk jantung

sesal telah membuatnya

ribuan kali sayat luka kutorehkan dalam sadar dan tiada

cinta jelata membutakan  

maafkan aku duhai wanita agung cinta sejatiku

simpuhku hanya sepotong nyali yang tersisa

terlalu kental cintamu membalut ragaku

tak kuasa kalah

simpan air matamu

tak layak berderai lagi untuk kebodohanku

bahkan dosa dan sesalku yang berkarat

maafkan aku duhai wanita agung cinta pertamaku

aku hanya inginkan yang kau rela saja

terbitkan kembali asa dimata juangmu

basuh nelangsa yang berkeping disetiap sujudmu

aku hanya punya seuntai doa

meronce di subuh sani melangit di ujung senja

kokoh dalam cintamu di sepanjang perjalananku


Sabtu, 14 Mei 2022

 

KAPAL

Oleh : Wahyu Heany Prismawati

 

Deru mesin kapal memekakkan telah menjadi simponi yang melengkapi suara-suara alam. Bang Juki melempar senyum miring kepadaku dengan kretek terselip disudut bibir, tangannya menggenggam stik panjang kemudi kapal. Di buritan duduk Pak Mansur, seorang pegawai Kementerian agama. Beliau Penyuluh Agama Islam untuk Pulau Mendanau. Banyak cerita kudapatkan dalam perjalanan ini. Melengkapi hidupku. Pernah suatu ketika tanpa sengaja tanganku menyentuh cerobong. Reflek dengan cepat menarik tangan begitu sengat panas terasa. Tersenyum sendiri waktu itu. Kebodohan kecil bagi seseorang yang belum pernah naik kapal. Sesudahnya menjadi lelucon bagi teman-teman di puskesmas yang setengah mengolok ketidak tahuanku. Ternyata beberapa teman ada yang melihat kejadian itu. Biasanya aku akan ikut tertawa jika mereka membahas kejadian lucu itu di puskesmas. Mereka sudah menjadi bagian dari keluargaku. Orang-orang kapal. 

Kapal kayu yang membawa penumpang setiap hari ke sebuah pulau terpencil. Dalam keseharian membelah ombak, saat cuaca indah maupun ketika tak bersahabat. Gagahnya menginspirasiku dalam membelajari hidup. Cintanya pada Samudra mengajarkanku tentang cinta ibuku padaku. Ibuku, wanita cinta pertamaku di dunia. Aku tak pernah ingin menukarnya dengan apapun di dunia ini. Bahkan ketika ibuku menyuruhku berhenti mencintai Elena. Sekuat tenaga aku berjuang menghapus semua kenangan tentangnya. Dan aku berhasil melupakannya. “Tidak pantas untukmu nak, carilah Wanita mulia” “Wanita yang tidak mudah dibawa-bawa, kesannya jadi murah. Gampangan” “Jaman sekarang tehnologi sudah sangat maju. Abang bisa bertaaruf melalui whatsapp, Instagram atau media lain, tak harus ketemu-ketemu yang memungkinkan timbulnya syahwat” kalimat – kalimat yang berulang kali kudengar dari ibuku. Dan selalu silih berganti mengiang di tingkah deru mesin kapal. Mengisi renung di setiap perjalananku.

Bingar kapal mengkondisikan kelakar menjadi kurang efektif sehingga membuat penumpang lebih banyak diam. Merenung. Begitupun aku. Self remind. Apapun bisa menjadi bahasan menarik di kepalaku. Termasuk rutinitas pekerjaan, angan-angan tentang wanita pendamping yang kucintai sekaligus diridhoi ibuku atau wacana profesiku ke depan. Atau apa saja bisa tiba-tiba muncul di kepala dan menjadi bahasan yang panjang dan dalam sepanjang perjalanan kapal. Komunikasi intrapersonal kata salah satu dosenku dulu.

Hari ini kapal nyaris penuh, akan ada hajatan resepsi pernikahan di Pulau Mendanau. Pernikahan Suku Bugis yang menjadi mayoritas penduduk Pulau Mendanau. Suku Bugis sudah dikenal sebagai pernikahan suku yang mahal karena nilai mahar yang harus diberikan yaitu emas. Tapi tidak hanya maharnya yang mahal. Proses adat yang dimiliki oleh suku Bugis pun cukup panjang dan meriah karena melibatkan seluruh orang dari keluarga kedua belah pihak hampir disetiap prosesnya. Biasanya suku bugis di pulau ini akan menggelar pesta pernikahan yang meriah dengan perias pengantin yang di datangkan dari kota, yang bertanggung jawab merias pengantin sekaligus menyulap pelaminan dan area pesta menjadi tempat yang indah dan menawan. Lantas para tetua akan memimpin para Wanita menyiapkan berbagai sajian makanan tradisional dan nasional yang disuguhkan dalam tempat-tempat sajian indah pada tenda-tenda cantik yang berhias. Bahkan pesta akan dilengkapi dengan kehadiran sekelompok pemain musik dan biduan – biduan cantik dengan panggung besar di depan rumah pengantin. Kemudian para wanita kerabat pengantin akan bersolek lengkap dengan gemerlap perhiasan mereka dan berbaris di depan pintu masuk menyambut tetamu. Mereka akan saling berkelakar dengan bahasa ibunya yang sampai hari ini masih sulit kumengerti. “Pernikahan Bugis, pak dokter” kata salah seorang temanku di puskesmas suatu hari ketika kami diundang hadir dalam gelaran itu. Gemerlap. Kesan pertama yang kudapat.

Beberapa penumpang merupakan kerabat pengantin yang bermukim di kota. Kebanyakan mereka suku bugis yang menjadi penduduk Pulau Mendanau memiliki dua buah rumah. Satu rumah di pulau dan satu rumah di kota. Jika ada acara di pulau mereka biasanya akan menyewa satu buah kapal dan berangkat beramai-ramai. Tapi kali ini tidak karena mereka tak lebih dari 7 orang saja. Yang lainnya adalah Pegawai Puskesmas, Pegawai Kantor Kecamatan dan guru SMP yang sudah biasa menumpang di kapal ini. Kami saling mengenal satu sama lain karena sering dalam satu perjalanan di kapal ini dan berkonvoi memacu sepeda motor setelahnya. Baik perjalanan ke Pulau Mendanau maupun perjalanan dari Pulau Mendanau. Dengan tujuan yang sama. Menjemput rezeki.

Para lelaki penumpang kapal lebih sering duduk di haluan atau di buritan kapal, tak peduli kapal penuh ataupun tidak. Tempat itu ideal karena kami bisa merokok dalam diam. Atau sesekali berkelakar. Bahkan terkadang hanya saling melempar senyum hingga kapal merapat. Seperti hari ini. Tanpa kata. Masing-masing sibuk dengan handphone di tangan dan pikiran berkecamuk di kepala.

Hari ini bakal ada kegiatan pelayanan Kesehatan bagi para lanjut usia di puskesmas. Rencana hari ini aku akan memberikan penyuluhan tentang Kesehatan gigi pada lanjut usia dan diakhiri dengan pemeriksaan gigi. Biasanya akan memakan waktu cukup lama. Karena mereka selalu menginginkan waktu lebih banyak untuk bercerita. Secara fisiologis lanjut usia sangat memerlukan teman untuk sharing, meskipun hanya sekedar menceritakan tentang sepotong kegiatan mereka di sore hari. Ah, aku jadi ingat dengan gigi-gigi ibuku. Seperti kebanyakan lanjut usia demikian juga ibuku. Sebagian sudah tidak berfungsi secara maksimal, karang gigi menumpuk dibeberapa gigi rahang bawah. Ibuku sering mengeluhkan hanya bisa mengunyah di gigi sebelah kanan saja. Itupun ketika ku periksa geraham tak satupun tersisa. Menghabiskan sepiring kecil nasi saja ibu selalu paling terakhir selesai.    

Wajah ibu menari sejenak didepanku. Wanita mulia yang ditetapkan Allah melahirkanku. Menjadikanku seorang dokter dengan perjuangan yang sulit kutuliskan. “Abang ndak perlu berkecil hati jadi orang desa sekolah di kota. Yang penting tunjukan kemampuan bahwa abang juga bisa berprestasi seperti mereka” itu yang ibuku katakan ketika baru pertama kali akan bersekolah di sebuah SMP Negeri terbaik di kota kabupaten kami. Ibu seperti menjawab kegelisahanku. Menepis kekhawatiran yang berbicara lewat bahasa tubuhku. “Ibu tahu apa yang sedang abang rasakan, sembilan bulan lebih abang ada ditubuh ibu” kalimat yang sering ibu ucapkan ketika aku mulai dewasa.  Sepotong ujaran yang menjelaskan bahwa aku tidak perlu berbohong, karena ibu tahu yang aku sembunyikan. “Begitupun aku ibu” aku biasa akan menjawabnya dalam hati dibalik senyumku untuk ibu. Aku tahu kenapa tak ada sebentuk perhiasanpun menghias tubuh ibu. Semua sudah habis engkau berikan untuk kuliahku, bahkan menyisakan hutang. Belakangan aku mengetahui ibu bahkan pernah menjual anting yang sedang dipakainya di sebuah toko emas demi mengirim uang kebutuhanku berkuliah. “Aku tahu takkan pernah dapat mengganti semua pengorbananmu untukku sekalipun dunia dan seisinya ku berikan untukmu, ibu”  batinku. Tubuhku dari darah dan air susumu, ibadahku dari ajaranmu yang tak berhenti meski aku sering abai dan malas.

Tiba-tiba seorang gadis didalam kapal menjulurkan kepalanya keluar dan memuntahkan isi perutnya ke laut. Mabuk rupanya. Pemandangan biasa di kapal. Pada kondisi angin bersahabat sekalipun bisa saja membuat penumpang mabuk. Terutama pemula. Ya, bagi penumpang yang belum pernah naik kapal memang harus membiasakan diri dengan goyangan ombak yang sesekali mengayun dan membuat perut tidak nyaman.

Dulu waktu masih baru pertama naik kapal juga hal sama menimpaku. Meskipun tidak sampai muntah. Tapi isi perutku seperti sedang diaduk dan hendak memaksa keluar lewat mulutku. Sangat tidak nyaman. Jadi ingat nasehat temenku agar aku menutup pusatku dengan salonpas atau plester sebelum naik kapal. Lucu jika mengingatnya. Tetapi manjur juga nasehat temanku itu.

Bang Juki mengurangi laju kapal, aku mengangkat kepalaku melempar pandanganku ke depan. Tiang-tiang beton dermaga tampak tegap di depan sana menyambut kedatangan kapal yang hendak bertambat. Dermaga yang kuat dan setia. Sebagian tiang tertanam dan terendam di kedalaman pantai. Kuat menyangga ketika kapal-kapal bersandar. Tak lekang meski dipecah ombak disetiap waktu. Laksana ibuku yang menantiku pulang dan menghamburkan rindu dalam pelukan. Setia menanti di ujung pantai meski berbagai cuaca mendera.  Anganku sesaat terbang di masa – masa kuliah. Aku jarang pulang hanya setiap lebaran dan sesekali di libur semester. Selebihnya aku habiskan waktu liburku di Jakarta bersama sabahat-sahabat seangkatanku. Dan ibu tetap setia menelponku “Jaga sholat nak” kalimat itu yang selalu mengakhiri di percakapan kami di telepon. Saat ini ketika aku sudah bekerja di pulau ini aku merasa ingin menebus kebersamaanku dengan ibu.

Aku menghidupkan sepeda motorku mengejar pintu puskesmas, meninggalkan Bang Juki yang sibuk membongkar muatan kapal. Entah sudah berapa kali rutinitas ini kulewati. Aku telah berhasil menikmati dan menyukainya. Aku yakin doa-doa ibu yang membersamaiku di setiap langkahku yang menjadikan semua ini menjadi mudah dan membuat hatiku tanpa beban menjalankan tugas-tugas ini. Bersahabat dengan ombak dan aroma kapal. Bermitra dengan penat dan debu jalanan. Bahkan aku menyadari betapa aku telah mencintai pulau ini. Aku punya banyak angan dan ekspektasi tinggi bagi kemajuan pulau ini. Banyak hal yang ingin aku lakukan. Bahkan bila suatu saat tugasku usai disini dan harus mengembangkan karierku di tempat lain. Pulau ini akan tetap memiliki tempat di hatiku. Aku akan menggali potensi yang ada dengan kemampuan yang kumiliki. Ibuku telah menginspirasiku.

Kamis, 12 Mei 2022

 

ENGKAU, YA MUJIBASSAILIN

Karya : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

 

Kekasih ku,

ku  tahu Engkau sedang menuntunku pada ketinggian yang pelik

kuyakin Engkau tetap memelukku mesti onak merajamku

kutahu cintaMU seluas rasa tak bertepi

dan bentang ini Kau berikan untukku agar hina sirna

habiskan nestapa di sini dalam raga yang berasa

dalam tangis hamba

tangis tak berdaya


jika kenang kelak suryaMU padam

malam tak lagi kuasa sunting rembulan 

ku ingin berlari mendapatiMU dalam senyum mengembang

senyum keabadian

lunas tak perlu ragaku remuk dalam deraMU


PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...