Minggu, 22 Mei 2022
TARIAN PELANGI
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Tarian pelangi belum usai
aku masih ingin menyimpannya dalam pandangku
agar berpendar ke seluruh jiwaku
gantikan semua lara dengan setumpuk warnanya
kilahku pada rembulan tak lagi didengar
pergi melenggang bagai aku tiada
mestinya kunikmati ronanya yang mengemas genit disunting ranting cemara
barangkali senandung cintaku tak lagi bermakna
ditepis angin yang berlari
atau mungkin aku kurang kuat menyematnya
malam sisa sepertiga
biarkan sujudku tak bertepi
mengiba kasih pada sang pemilik cinta
mungkin nestapa kan sirna
hilang semua pekat
SEBAIT BAGIMU SAHABAT
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Ilalang bukan liar merambah padang
hanya segenggam rasa yang berdendang
hakikatnya adalah perdu yang solid di sekitar
menjadi penanda subur bentang alam
padamu sahabat
kugali penggalan kata untuk kutautkan
bagi asaku yang lama tertunda
padamu sahabat,
kubertandang hingga
usai untaian
meronce satu per satu prosa dan gurindam serta bait puisi
padamu sahabat
betapa kumerindu dalamnya kata dan luasnya antologi
dan bukan mimpi
Air
Seruk, 22 Mei 2022
Sabtu, 21 Mei 2022
AIR MATA
oleh : Wahyu Heany Prismawati
Sera masih termenung
jemarinya memainkan telepon genggam, entah sudah berapa lama berlalu. Kepalanya
penuh dengan kalimat-kalimat yang ingin diucapkan tapi entah sudah berapakali
dikoreksinya dalam diam. Takut melukai. Sesekali punggung tangannya menyusut
air mata di ujung pelupuk, mengalir tanpa isak. Guntur adalah pria pujaan tapi
tak dapat untuk dimiliki. Guntur terlalu mencintai ibunya. Tak ingin hati
ibunya terluka. Bagi Guntur ibunya adalah segalanya. Biar saja luka menoreh
kepingan hatinya. Guntur rela, ia meyakini cinta ibunya yang akan
menyembuhkannya kembali. Guntur tahu
keputusannya sangat melukai hati Sera yang saat ini duduk di sampingnya. Tapi
dia merasa harus menyelesaikan dengan segera. Guntur begitu yakin Allah akan
menggantinya dengan pasangan yang lebih mulia bagi keduanya.
Guntur
tak berani memandang perempuan di sampingnya. Tak ingin gamang datang hingga
menghancurkan semuanya. Dia bisa merasakan betapa Sera sangat terpukul dengan
keputusan ini. Karena mereka memiliki perasaan yang sama.
“Maafkan aku Sera, mari kita lewati perjalanan
di depan sana tanpa saling menyalahkan. Menerima kenyataan ini dengan ikhlas
agar tak ada luka dan amarah. Semoga
kamu lekas mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku.” Diam. Tak ada suara.
Bahkan angin enggan berdesir. Nyaris setengah jam berlalu tanpa kata.
“Mari Sera, biarkan
aku mengantarmu pulang. Sekali lagi maafkan aku” ujar Guntur seraya beranjak
dari bangku taman. Sera beranjak nyaris limbung, menatap sekitar taman dengan
mata nanar, ufuk barat yang biasanya mempesona menanti matahari pulang kali ini
membeku tanpa rasa.
Hubungan
itu kandas setelah nyaris satu tahun dipertahankan tanpa restu Ibunya Guntur.
Entah berapa kali pembahasan dilakukan namun tiada titik temu. Guntur pemuda
yang taat agama. Cintanya pada ibunya sangat besar, tak mampu dia menukarnya
untuk sekeping cintanya pada Sera, perempuan yang telah mengisi relung hatinya belakangan
ini.
Langkahnya
pasti meninggalkan rumah Sera, menuju pulang. Kelopak matanya basah tetapi
bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Ibu, aku
telah memenangkan pertarungan ini. Aku tak ingin menyelesaikan perjalanan ini
tanpa ridamu, aku tak akan membiarkanmu terluka oleh apapun, apalagi karena
ulahku.”
Seorang perempuan
berabaya moka duduk di kursi kayu, sebuah buku tipis ada di tangannya. Agak
lusuh karena terlalu sering dibuka. Sebagian wajah mungilnya terlindung jilbab
lebar yang menjela hingga kedua bahu. Beberapa kerutan menghias sekitar kedua
matanya. Hidung bangirnya menyisakan kecantikan masa lalu. Bibirnya bergerak – gerak dengan suara lirih
dan jemarinya sesekali membuka buku tipis di tangannya. Layaknya orang sedang
menghafal.
Pintu pagar di
depan rumah bergerak, sepasang kaki melangkah lebar-lebar melewati perdu yang
tertata di sepanjang koridor. Setiba di teras senyumnya mengembang. Guntur
bergegas meraih tangan ibunya membawanya mendekat bibirnya dan mencium berulang-ulang.
“Ibu, aku
sudah berhasil meninggalkannya. Terima kasih atas doa-doa ibu selama ini”
Guntur meraih tubuh mungil ibunya dan memeluk dengan erat.
***
Meskipun sudah
satu tahun berlalu seluruh rangkaian cerita itu tidak hilang begitu saja di
benak Khadija. Hari ini ia sangat bahagia. Guntur putra sulungnya mempersunting Aisha. Gadis desa yang pernah
berkuliah di kota dan saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Gadis
dengan akhlaq mulia, memiliki pergaulan yang terjaga. Paras rupawan dengan
postur tubuh semampai. Kedua pipinya sesekali terlihat memerah tersipu. Gadis
pemalu.
Khadija secara
diam – diam meminta bantuan seorang teman lama untuk membuka hati Guntur untuk
Aisha. Sekedar berkenalan melalui sosial media. Pastinya berkat pertolongan
Allah sehingga semua berjalan dengan mudah. Sampai hari ini Guntur tidak
mengetahui bahwa ibunyalah yang mengkondisikan sehingga ia mengenal Aisha dan
jatuh hati kepadanya. Sesungguhnya Allah yang meletakkan cinta Guntur bagi
Aisha. Alhamdulillah.
Pesta kebun
sederhana dipadati kehadiran keluarga besar Aisha dan Guntur serta sahabat dan
handai taulan keduanya terselenggara dengan hikmad. Aldaf yang merancang
semuanya. Adik Guntur satu-satunya. Kebun belakang rumah mereka berhasil
disulap menjadi sebuah taman nan indah. Aldaf tampak berbakat menanganinya.
Hamparan bunga tertata dari mulai masuk halaman rumah. Beberapa gapura cantik
berhiaskan bunga-bunga dan sehelai selendang yang bergelung dengan ujung yang
berkibar melambai mengisyaratkan sebuah pesta. Bentang setapak meliku dari
potongan-potongan batang albasia seperti pualam yang berbaris menuju area
pesta. Ada tiga gapura cantik sepanjang setapak dari parkiran hingga area
pesta. Beberapa muda mudi berbaris di tiga gapura menyambut tetamu. Mereka
sepupu – sepupu Aisha dan Guntur. Khadija pernah berpesan,
“Nanti yang menyambut tamu sepupu-sepupu
kalian atau pasangan-pasangan yang sudah halal ya,”
“Baik ibu”
janji perias pengantin pada saat itu. Khadija sangat berhati-hati. Ia
menginginkan anak-anak dan keluarganya terjaga dari maksiat.
Perhelatan nan
islami. Dengan menggunakan pakem pesta kebun. Bangku-bangku taman dari kayu
hadir di bawah pokok matoa yang rimbun. Beberapa sengaja dipadukan dengan
payung-payung taman. Sajian hidangan ditata di atas meja-meja yang berpencar di
area taman. Masing-masing dijaga oleh gadis-gadis berkerudung nan ramah melayani
tetamu yang hendak mengambil hidangan. Celoteh tetamu ditingkah denting sendok
beradu mewarnai alunan lagu-lagu gambus yang dilantunkan oleh sekelompok
pemusik, penyanyinya tampak anggun berbalut pakaian panjang dengan jilbab yang
menjela. Sayup-sayup lirik Deen Assalam merebak menebarkan kesyahduan pesta.
Sesaat Khadija
tersentak melihat pasangan yang melangkah mendekati pelaminan. Seperti diberi
aba-aba mereka yang ada di panggung pelaminan berdiri serempak. Semakin dekat
pasangan itu berjalan menghampiri. Perempuan dengan rambut sebahu diurai,
mengiring di sisinya seorang laki-laki berbadan tegap. Tangannya selalu
menggamit jemari perempuan di sampingnya. Perempuan itu Sera. Senyumnya
mengembang sejak dari pintu masuk. Tangannya sesekali memegang perutnya yang sedikit
membuncit. Melangkah dengan kehati-hatian.
“Terima Kasih
ya, sudah menyempatkan datang”
“Wah sudah
kelihatan ya, kapan ini taksiran melahirkannya.”sambut Khadija.
“Masih empat
bulan lagi tante” jawab Sera. Khadija memandang mata Sera tak menemukan
kebencian di sana. Terbersit pada sebagian doa-doanya waktu itu,
“Ya Robb, berikan
keduanya segera pasangan yang lebih baik dari saat ini. Engkau adalah Dzat yang
berkuasa atas setiap hati.” Alhamdulillah.
Senyum Khadija
masih mengembang mengiring pasangan muda itu berlalu. Dengan ekor matanya Khadija
melihat Guntur dan Aisha sibuk menyalami tamu berikutnya. Keduanya sesekali
beradu pandang. Betapa mereka tampak sangat bahagia. Khadija duduk Kembali, tangannya
menyodorkan minuman kepada Umar di sampingnya. Suami yang sangat dihormati dan
dicintainya.
Keduanya telah
bersama dalam perkawinan selama tidak kurang dari tiga puluh dua tahun.
Berbagai cerita suka dan duka banyak mereka lewati. Dengan keberkahan Allah
semua tetap menjadi indah. Semula Umar seorang ayah yang sangat jarang
berbicara. Khadija sering mengingatkan bahwa kita sebagai orang tua akan
diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti. Tentang apa yang sudah kita
lakukan untuk mendidik, membesarkan dan memberikan pedoman hidup bagi
anak-anak yang telah Allah titipkan
kepada kita,
“Sampaikan
sesuatu kepada mereka. Jangan diam ketika melihat hal yang tidak sesuai dengan
kaidah agama kita” ujar Khadija di tiap kesempatan.
“Berbicara
menasehati anak tidak akan menurunkan martabat seorang ayah. Justru sebaliknya
akan membangun kedekatan. Nasehat dari ayah akan lebih didengar oleh anak-anak
secara teori psikhologis karena Allah telah menganugerahkan bagi seorang ayah
suara yang sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan wibawa. Manfaatkan itu untuk mendukung
nasehat-nasehat ibu yang sudah sering diperdengarkan setiap hari” Khadija terus
mengulang dan mengulang. Dan Allah menjawab doanya. Semua karena Allah. Umar perlahan
berubah karena Allah bukan karena Khadija. Khadija hanya berdoa di setiap penghujung
malam,
“Ya Robb,
hamba menginginkan suami hamba hatinya terpaut pada masjid, jiwanya dikuasai
cinta Alquran, penghujung malamnya dihiasi sujud, menyayangi keluarga dengan
lisan dan raganya.” Dan Khadija telah mendapatkan semuanya. Betapa Rahman dan
Rahimnya Allah.
Pesta usai.
Khadija tersenyum ketika Umar meraih jemarinya mengajak turun dari panggung
pelaminan. Aldaf di bawah menyambutnya.
“Mari ibu,
kita foto lagi di booth – booth cantik itu. Sayangkan Aldaf sudah membuatnya
dengan sangat indah kalau ibu tidak berfoto di sana.” Ujar Aldaf sambil menggamit
lengan ibunya. Khadija hampir tidak menyadari rangkaian foto keluarga di atas
panggung pelaminan tadi. Pikirannya dipenuhi lamunan-lamunan yang membuatnya
sangat bersyukur dengan ketetapan Allah yang ia terima.
“Mbak sini,“ seseorang
melambaikan tangannya. Adik Khadijah yang datang dari jawa beberapa hari
sebelum perhelatan. Semua adik-adik Khadija datang.
“Foto di sini
kita mbak, jangan melamun terus mbak sayang.” Dwi seperti tahu sepanjang pesta
tadi senyum kakaknya mengembang tetapi sebagian tatapannya melamun. Itulah
persaudaraan. Selalu ada temali yang tak tampak di hati masing-masing. Khadija
memeluk Dwi sangat erat, menahan air mata yang sedari tadi memaksa mengalir.
Seorang perempuan sepuh berusia tujuh puluhan duduk di salah satu kursi, jemarinya
menyusut air mata demi memandang kedua anaknya berpelukan. Lantas sesaat
keduanya menghambur dipangkuan ibu. Aldaf memandang dan menghela nafas,
“Ahh,
perempuan. Sebagian dari ciptaan Allah yang air matanya demikian sakral dan
mampu meruntuhkan segala bentuk ketidak mungkinan“ujar hatinya dalam senyum.
Mendamba Rida
Rida atau Ridho dalam lafaz bahasa arab. Sepotong kata yang mampu menepis banyak hal terkait keburukan dunia dan akhirat. Tak semua jiwa diberikan sebuah kesadaran memahami kedalaman maknanya. Barangkali memerlukan pembuktian dengan perjalanan yang diwarnai pahit getir hingga terjaga dari kebodohan. Sayangnya kita hanya memiliki sedikit saja kesempatan. Saat ini milik kita. Entah sekian detik berikutnya. Tak ada satupun teori yang mampu menjamin kepastian. Hanya Allah pemilik kepastian. Seandainya saja kita tahu masih seberapa panjang perjalanan ini barangkali kita akan sepanjang sisa waktu mengejar Rida Allah, rida orangtua dan rida sesama mahluk.
Perjalanan kita laksana cermin. Yang kita dapatkan hari ini adalah cerminan polah kemarin dan yang kita perbuat hari ini bakal kita tuai besok, lusa atau kelak. Usah dipertanyakan dengan apa yg kita hadapi saat ini, renungkan saja apa yang telah kita temukan diperjalanan ini. Pastikan langkah kita di jalan Allah dan RosulNYA agar kelak tiada penyesalan ketika menuai. Semoga kita tergolong orang-orang yang mendapatkan keberkahan usia.
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا .
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rosulullah Saw. bersabda: ”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)
Kamis, 19 Mei 2022
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung
Sebagai organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki pengikut dan simpatisan yang solid. Warga Muhammadiyah dan Aisyiyah dikenal dinamis dalam berbagai kegiatan positif. Amal Usahanya tersebar di seluruh negeri. Milad Aisyiyah 105 tahun ini mengambil tema Perempuan Mengusung Peradaban Utama. Mengembangkan karakter sebagai keluarga berkeadaban, keluarga yang memiliki kasih sayang, saling menghargai, saling menghormati dan saling memuliakan.
Sejalan dengan hal tersebut Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Belitung juga memiliki agenda kegiatan di setiap bulan dengan menggelar silaturrahim di rumah salah satu warganya secara bergantian. Kegiatan sederhana, yang diawali dengan Tausyiyah dilanjutkan dengan beramah tamah menikmati sajian hidangan rumahan sambil mengobrol membahas kegiatan di organisasi maupun bahasan ringan lainnya yang diselingi dengan foto-foto. Betul, belum lengkap rasanya kegiatan tanpa foto-foto. Huforia gelak tawa saling olok akan mencairkan suasana dan menambah kedekatan kami sebagai satu keluarga persyarikatan. Dan selalu ada bahan yang bisa dijadikan candaan. Terlebih hari ini.
Silaturrahim kali ini berbeda, sangat tematik. Hari ini kami diundang Bapak Agus Sulistiadi dan Ibu Ida Susanti bertandang ke kebun mereka. Janji pukul 09.00 WIB tiba di lokasi. Melar menjadi pukul 10.00 WIB bahkan ada yang baru tiba di lokasi setelah kami rombongan pertama pamit pulang. Tak mengapa. Kejadian - kejadian lucu hari ini menjadi kenangan indah kebersamaan kami.
Lokasi kebun beliau secara geografis tidaklah terlalu jauh ataupun sulit dijangkau. Apalagi bagi yang pernah berkunjung. Dan lokasinya sudah cukup familiar bagi masyarakat sekitar. Hanya saja banyak jalan alternatif yang bisa dipilih untuk menuju lokasi tersebut. Kenyataan ini justru yang membuat kita menjadi kesulitan jika bertanya kepada masyarakat yang kita temui di perjalanan. Mereka cenderung menunjukkan jalan yang berbeda satu sama lain. Sehingga malah semakin membingungkan. Sebetulnya hal ini sudah diantisipasi oleh ahlul bait, Bapak Agus Sulistiadi dengan menggambarkan denah menuju kebun beliau dengan sangat jelas dan beliau kirim ke grup whatsapp. Hanya saja terkadang kita kurang istiqomah dengan petunjuk yang ada. Seperti yang terjadi hari ini. Beberapa ibu tersesat hingga harus dijemput. Tentu saja kejadian ini malah membuat kegiatan ini semakin seru dan menjadi bahan candaan.
Penat dan kendala perjalanan langsung terbayar lunas begitu sampai di lokasi. Sebentuk rumah mungil dengan halaman tak seberapa luas dipadati dengan tanaman bonsai jenis Hokianti, kemuning, Santigi dan lain-lainnya gagah bertengger pada meja - meja pajangan yang tertata. Beberapa Aglonema membaur membuat tampilan beranda depan menjadi semakin elegan. Masuk lebih dalam kami disambut dengan indahnya antigonon leptopus sang bunga air mata pengantin, Xanthos Temon dan tumera suburata alias bunga pukul delapan berbaris mengembangkan kelopak kuningnya nan rupawan. Semakin menawan dengan kehadiran varietas tanaman lainnya yang merebak di seantero kebun. Rata-rata jenis tanaman kegemaran lebah trigona. Kemudian di kanan kiri setapak berbaris pokok - pokok kayu rumah lebah lengkap dengan nomornya. Kata beliau "Seperti mobil harus punya BN yu, supaya ngga salah" canda pak Agus diiringi gelak tetamu, ketika disinggung masalah angka-angka yang tertera pada setiap rumah lebah.
Di salah satu sudut kebun beberapa ibu berceloteh tentang perjalanannya dari rumah hingga tiba di lokasi, sebagian yang lain asyik mengagumi indahnya bunga-bunga, ada juga yang sibuk berpose sambil menyedot langsung madu lebah trigona dari kantong-kantong (pot) madu. Tentu saja tidak lupa menggunakan sedotan khas produk lokal. Sedotan purun. Sedotan yang terbuat dari tanaman purun yaitu semacam tanaman liar yang sejak dahulu para tetua di Belitung menjadikannya sebagai bahan utama untuk menganyam tikar dan produk - produk konvensional lainnya.
Purun mempunyai rongga besar yang memungkinkan dan bermanfaat untuk menyedot air dan hanya bisa tumbuh di lokasi rawa di Belitung. Kami sangat berbangga demi melihat tayangan Bapak Sandiaga Uno Menteri Pariwisata dan ekonomi kreatif menampilkan sedotan Purun pada pidato beliau di sidang tahunan PBB, beberapa kesempatan yang lalu. Terimakasih Bapak Menteri.
Adalah Bapak Agus Sulistiadi sang owner kebun dan ternak lebah ini seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung, Ide kreatifnya patut diteladani. Sejak sebelum pensiun beliau sudah menyiapkan tempat ini untuk dijadikan pengisi waktu hari-hari beliau semasa pensiun. Bukan setengah - setengah beliau menekuninya. Segala sesuatunya terkait Lebah Trigona telah beliau siapkan sedemikian rupa bahkan beliau menggandeng mitra salah satu bank di Kabupaten Belitung sebagai bentuk kesungguhan beliau. Tidak hanya itu, di salah satu dinding telah terpajang sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia melengkapi deretan foto-foto kegiatan peternakan lebah trigona miliknya.
Lebah Trigona adalah salah satu jenis lebah tanpa sengat terbesar atau yang biasa dikenal masyarakat dengan sebutan lebah klanceng, hidupnya tidak hanya bergantung dengan polen bunga seperti lebah madu jenis lainnya. Dikenal sebagai penghasil madu dan propolis yang banyak manfaat. Propolis semacam getah yang dikumpulkan lebah dari tanaman bergetah disekitarnya. Propolis dikenal berkhasiat karena kandungan antioksidan, vitamin dan mineral serta asam amino esensial.
Allah SWT bahkan memberikan nama An Nahl yang berarti lebah pada salah satu surat dalam Alquran. Bukan tanpa maksud. Secara filosofi Lebah memiliki sifat - sifat positif yang semestinya diadopsi pada tatanan kehidupan kita sehari - hari. Lebah merupakan hewan pekerja, memiliki persatuan atau koloni, berjamaah. Memberikan banyak manfaat bagi makluk lain. Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menafsirkan kata “an” di dalam An Nahl sebagai “an” mashdariyah atau mufassiriyah yang berarti ilham yang diberikan kepada lebah berupa sarang untuk tempat tinggal. Sarang tersebut bisa bertempat di bukit-bukit, pohon-pohon, atau tempat-tempat yang telah disediakan maunusia. Sedang Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memberikan pengertian bahwa lebah telah diberikan Allah ilham untuk menyelesaikan semua persoalan hidupnya. Termasuk juga dimudahkan Allah bagi lebah dalam membuat sarang di gunung-gunug, celah-celah pepohonan, maupun pucuk-pucuk rumah manusia. Wallohu'alam bissawab.
Hanya beberapa menit saja beliau bertausyiyah dilanjutkan dengan acara makan-makan dan mengobrol. Menu makan siang tersaji. Kami bergiliran mengisi piring dengan aneka lauk yang tersaji. Nasi putih dengan sayur asam lengkap disertai ikan goreng, lalapan, kerupuk dan sambal belacan.
Belacan adalah sebutan terasi bagi masyarakat Belitung.. Terbuat dari udang segar yang diproses dengan fermentasi. Karenanya terasi Belitung terkenal enak dan menjadi salah satu dari sekian banyak oleh-oleh lainnya yang wajib dibeli. Bagi penggemar terasi, rugi apabila berwisata ke Belitung pulang tanpa terasi Belitung.
Kelakar para ibu ditingkah denting sendok terhenti sejenak ketika Ibu Ida mendekat dengan sekeranjang botol-botol madu di tangannya. "Bagi souvenir dulu ya" Sontak ibu-ibu Aisyiyah bersorak girang, "Alhamdulillah, murah-murah rejeki ya bu" salah seorang ibu berujar dan disambut "Aamiiinn" serempak oleh ibu - ibu Aisyiyah yang lain. Satu persatu Ibu Ida membagikan. Kami semua membawa pulang madu Lebah Trigona, hari ini. Sehat selalu Bapak Agus Sulistiadi, Ibu Ida Susanti dan keluarga. Semoga Allah berikan keberkahan atas rejeki.
Hari semakin siang, kami mulai berkemas untuk pulang menyongsong Adzan Sholat Dhuhur yang tidak lama lagi akan berkumandang. Kami pulang dengan tangan penuh. Sebotol madu lebah trigona dan aneka tanaman bunga. Hari yang indah, berkah silaturrahim. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahim." (HR. Bukhari) [Shahih No.5986 Versi Fathul Bari]
Minggu, 15 Mei 2022
MAAFKAN AKU
Oleh : Wahyu Heany Prismawati
Akralku dingin jauhi batas rasa
menebar hingga memeluk jantung
sesal telah membuatnya
ribuan kali sayat luka kutorehkan dalam sadar dan tiada
cinta jelata membutakan
maafkan aku duhai wanita agung cinta sejatiku
simpuhku hanya sepotong nyali yang tersisa
terlalu kental cintamu membalut ragaku
tak kuasa kalah
simpan air matamu
tak layak berderai lagi untuk kebodohanku
bahkan dosa dan sesalku yang berkarat
maafkan aku duhai wanita agung cinta pertamaku
aku hanya inginkan yang kau rela saja
terbitkan kembali asa dimata juangmu
basuh nelangsa yang berkeping disetiap sujudmu
aku hanya punya seuntai doa
meronce di subuh sani melangit di ujung senja
kokoh dalam cintamu di sepanjang perjalananku
Sabtu, 14 Mei 2022
KAPAL
Oleh : Wahyu Heany Prismawati
Deru mesin
kapal memekakkan telah menjadi simponi yang melengkapi suara-suara alam. Bang
Juki melempar senyum miring kepadaku dengan kretek terselip disudut bibir,
tangannya menggenggam stik panjang kemudi kapal. Di buritan duduk Pak Mansur,
seorang pegawai Kementerian agama. Beliau Penyuluh Agama Islam untuk Pulau
Mendanau. Banyak cerita kudapatkan dalam perjalanan ini. Melengkapi hidupku. Pernah
suatu ketika tanpa sengaja tanganku menyentuh cerobong. Reflek dengan cepat
menarik tangan begitu sengat panas terasa. Tersenyum sendiri waktu itu.
Kebodohan kecil bagi seseorang yang belum pernah naik kapal. Sesudahnya menjadi
lelucon bagi teman-teman di puskesmas yang setengah mengolok ketidak tahuanku.
Ternyata beberapa teman ada yang melihat kejadian itu. Biasanya aku akan ikut
tertawa jika mereka membahas kejadian lucu itu di puskesmas. Mereka sudah
menjadi bagian dari keluargaku. Orang-orang kapal.
Kapal kayu
yang membawa penumpang setiap hari ke sebuah pulau terpencil. Dalam keseharian
membelah ombak, saat cuaca indah maupun ketika tak bersahabat. Gagahnya
menginspirasiku dalam membelajari hidup. Cintanya pada Samudra mengajarkanku tentang
cinta ibuku padaku. Ibuku, wanita cinta pertamaku di dunia. Aku tak pernah ingin
menukarnya dengan apapun di dunia ini. Bahkan ketika ibuku menyuruhku berhenti
mencintai Elena. Sekuat tenaga aku berjuang menghapus semua kenangan
tentangnya. Dan aku berhasil melupakannya. “Tidak pantas untukmu nak, carilah
Wanita mulia” “Wanita yang tidak mudah dibawa-bawa, kesannya jadi murah.
Gampangan” “Jaman sekarang tehnologi sudah sangat maju. Abang bisa bertaaruf
melalui whatsapp, Instagram atau media lain, tak harus ketemu-ketemu yang
memungkinkan timbulnya syahwat” kalimat – kalimat yang berulang kali kudengar
dari ibuku. Dan selalu silih berganti mengiang di tingkah deru mesin kapal. Mengisi
renung di setiap perjalananku.
Bingar kapal
mengkondisikan kelakar menjadi kurang efektif sehingga membuat penumpang lebih
banyak diam. Merenung. Begitupun aku. Self remind. Apapun bisa menjadi bahasan
menarik di kepalaku. Termasuk rutinitas pekerjaan, angan-angan tentang wanita pendamping
yang kucintai sekaligus diridhoi ibuku atau wacana profesiku ke depan. Atau apa
saja bisa tiba-tiba muncul di kepala dan menjadi bahasan yang panjang dan dalam
sepanjang perjalanan kapal. Komunikasi intrapersonal kata salah satu dosenku
dulu.
Hari ini
kapal nyaris penuh, akan ada hajatan resepsi pernikahan di Pulau Mendanau.
Pernikahan Suku Bugis yang menjadi mayoritas penduduk Pulau Mendanau. Suku Bugis sudah dikenal sebagai
pernikahan suku yang mahal karena nilai mahar yang harus diberikan yaitu emas.
Tapi tidak hanya maharnya yang mahal. Proses adat yang dimiliki oleh suku Bugis
pun cukup panjang dan meriah karena melibatkan seluruh orang dari keluarga
kedua belah pihak hampir disetiap prosesnya. Biasanya suku bugis di
pulau ini akan menggelar pesta pernikahan yang meriah dengan perias pengantin
yang di datangkan dari kota, yang bertanggung jawab merias pengantin sekaligus
menyulap pelaminan dan area pesta menjadi tempat yang indah dan menawan. Lantas
para tetua akan memimpin para Wanita menyiapkan berbagai sajian makanan
tradisional dan nasional yang disuguhkan dalam tempat-tempat sajian indah pada
tenda-tenda cantik yang berhias. Bahkan pesta akan dilengkapi dengan kehadiran
sekelompok pemain musik dan biduan – biduan cantik dengan panggung besar di
depan rumah pengantin. Kemudian para wanita kerabat pengantin akan bersolek lengkap
dengan gemerlap perhiasan mereka dan berbaris di depan pintu masuk menyambut
tetamu. Mereka akan saling berkelakar dengan bahasa ibunya yang sampai hari ini
masih sulit kumengerti. “Pernikahan Bugis, pak dokter” kata salah seorang temanku
di puskesmas suatu hari ketika kami diundang hadir dalam gelaran itu. Gemerlap.
Kesan pertama yang kudapat.
Beberapa
penumpang merupakan kerabat pengantin yang bermukim di kota. Kebanyakan mereka
suku bugis yang menjadi penduduk Pulau Mendanau memiliki dua buah rumah. Satu
rumah di pulau dan satu rumah di kota. Jika ada acara di pulau mereka biasanya
akan menyewa satu buah kapal dan berangkat beramai-ramai. Tapi kali ini tidak
karena mereka tak lebih dari 7 orang saja. Yang lainnya adalah Pegawai
Puskesmas, Pegawai Kantor Kecamatan dan guru SMP yang sudah biasa menumpang di
kapal ini. Kami saling mengenal satu sama lain karena sering dalam satu
perjalanan di kapal ini dan berkonvoi memacu sepeda motor setelahnya. Baik
perjalanan ke Pulau Mendanau maupun perjalanan dari Pulau Mendanau. Dengan tujuan
yang sama. Menjemput rezeki.
Para
lelaki penumpang kapal lebih sering duduk di haluan atau di buritan kapal, tak
peduli kapal penuh ataupun tidak. Tempat itu ideal karena kami bisa merokok
dalam diam. Atau sesekali berkelakar. Bahkan terkadang hanya saling melempar
senyum hingga kapal merapat. Seperti hari ini. Tanpa kata. Masing-masing sibuk
dengan handphone di tangan dan pikiran berkecamuk di kepala.
Hari ini
bakal ada kegiatan pelayanan Kesehatan bagi para lanjut usia di puskesmas.
Rencana hari ini aku akan memberikan penyuluhan tentang Kesehatan gigi pada
lanjut usia dan diakhiri dengan pemeriksaan gigi. Biasanya akan memakan waktu
cukup lama. Karena mereka selalu menginginkan waktu lebih banyak untuk
bercerita. Secara fisiologis lanjut usia sangat memerlukan teman untuk sharing,
meskipun hanya sekedar menceritakan tentang sepotong kegiatan mereka di sore
hari. Ah, aku jadi ingat dengan gigi-gigi ibuku. Seperti kebanyakan lanjut usia
demikian juga ibuku. Sebagian sudah tidak berfungsi secara maksimal, karang
gigi menumpuk dibeberapa gigi rahang bawah. Ibuku sering mengeluhkan hanya bisa
mengunyah di gigi sebelah kanan saja. Itupun ketika ku periksa geraham tak
satupun tersisa. Menghabiskan sepiring kecil nasi saja ibu selalu paling
terakhir selesai.
Wajah ibu
menari sejenak didepanku. Wanita mulia yang ditetapkan Allah melahirkanku.
Menjadikanku seorang dokter dengan perjuangan yang sulit kutuliskan. “Abang
ndak perlu berkecil hati jadi orang desa sekolah di kota. Yang penting tunjukan
kemampuan bahwa abang juga bisa berprestasi seperti mereka” itu yang ibuku
katakan ketika baru pertama kali akan bersekolah di sebuah SMP Negeri terbaik
di kota kabupaten kami. Ibu seperti menjawab kegelisahanku. Menepis
kekhawatiran yang berbicara lewat bahasa tubuhku. “Ibu tahu apa yang sedang
abang rasakan, sembilan bulan lebih abang ada ditubuh ibu” kalimat yang sering
ibu ucapkan ketika aku mulai dewasa. Sepotong
ujaran yang menjelaskan bahwa aku tidak perlu berbohong, karena ibu tahu yang aku
sembunyikan. “Begitupun aku ibu” aku biasa akan menjawabnya dalam hati dibalik
senyumku untuk ibu. Aku tahu kenapa tak ada sebentuk perhiasanpun menghias
tubuh ibu. Semua sudah habis engkau berikan untuk kuliahku, bahkan menyisakan
hutang. Belakangan aku mengetahui ibu bahkan pernah menjual anting yang sedang
dipakainya di sebuah toko emas demi mengirim uang kebutuhanku berkuliah. “Aku
tahu takkan pernah dapat mengganti semua pengorbananmu untukku sekalipun dunia
dan seisinya ku berikan untukmu, ibu” batinku.
Tubuhku dari darah dan air susumu, ibadahku dari ajaranmu yang tak berhenti
meski aku sering abai dan malas.
Tiba-tiba
seorang gadis didalam kapal menjulurkan kepalanya keluar dan memuntahkan isi
perutnya ke laut. Mabuk rupanya. Pemandangan biasa di kapal. Pada kondisi angin
bersahabat sekalipun bisa saja membuat penumpang mabuk. Terutama pemula. Ya,
bagi penumpang yang belum pernah naik kapal memang harus membiasakan diri
dengan goyangan ombak yang sesekali mengayun dan membuat perut tidak nyaman.
Dulu waktu
masih baru pertama naik kapal juga hal sama menimpaku. Meskipun tidak sampai
muntah. Tapi isi perutku seperti sedang diaduk dan hendak memaksa keluar lewat
mulutku. Sangat tidak nyaman. Jadi ingat nasehat temenku agar aku menutup
pusatku dengan salonpas atau plester sebelum naik kapal. Lucu jika
mengingatnya. Tetapi manjur juga nasehat temanku itu.
Bang Juki
mengurangi laju kapal, aku mengangkat kepalaku melempar pandanganku ke depan. Tiang-tiang
beton dermaga tampak tegap di depan sana menyambut kedatangan kapal yang hendak
bertambat. Dermaga yang kuat dan setia. Sebagian tiang tertanam dan terendam di
kedalaman pantai. Kuat menyangga ketika kapal-kapal bersandar. Tak lekang meski
dipecah ombak disetiap waktu. Laksana ibuku yang menantiku pulang dan menghamburkan
rindu dalam pelukan. Setia menanti di ujung pantai meski berbagai cuaca
mendera. Anganku sesaat terbang di masa
– masa kuliah. Aku jarang pulang hanya setiap lebaran dan sesekali di libur
semester. Selebihnya aku habiskan waktu liburku di Jakarta bersama
sabahat-sahabat seangkatanku. Dan ibu tetap setia menelponku “Jaga sholat nak”
kalimat itu yang selalu mengakhiri di percakapan kami di telepon. Saat ini
ketika aku sudah bekerja di pulau ini aku merasa ingin menebus kebersamaanku
dengan ibu.
Aku
menghidupkan sepeda motorku mengejar pintu puskesmas, meninggalkan Bang Juki
yang sibuk membongkar muatan kapal. Entah sudah berapa kali rutinitas ini
kulewati. Aku telah berhasil menikmati dan menyukainya. Aku yakin doa-doa ibu
yang membersamaiku di setiap langkahku yang menjadikan semua ini menjadi mudah
dan membuat hatiku tanpa beban menjalankan tugas-tugas ini. Bersahabat dengan
ombak dan aroma kapal. Bermitra dengan penat dan debu jalanan. Bahkan aku
menyadari betapa aku telah mencintai pulau ini. Aku punya banyak angan dan ekspektasi
tinggi bagi kemajuan pulau ini. Banyak hal yang ingin aku lakukan. Bahkan bila
suatu saat tugasku usai disini dan harus mengembangkan karierku di tempat lain.
Pulau ini akan tetap memiliki tempat di hatiku. Aku akan menggali potensi yang
ada dengan kemampuan yang kumiliki. Ibuku telah menginspirasiku.
Kamis, 12 Mei 2022
ENGKAU, YA MUJIBASSAILIN
Karya : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Kekasih ku,
ku tahu Engkau sedang menuntunku pada ketinggian yang pelik
kuyakin Engkau tetap memelukku mesti onak merajamku
kutahu cintaMU seluas rasa tak bertepi
dan bentang ini Kau berikan untukku agar hina sirna
habiskan nestapa di sini dalam raga yang berasa
dalam tangis hamba
tangis tak berdaya
jika kenang kelak suryaMU padam
malam tak lagi kuasa sunting rembulan
ku ingin berlari mendapatiMU dalam senyum mengembang
senyum keabadian
lunas tak perlu ragaku remuk dalam deraMU
PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam kerlipnya menepis gundah seperti t...

-
SILATURRAHIM KELUARGA MUHAMMADIYAH DAN AISYIYAH KABUPATEN BELITUNG DI PETERNAKAN LEBAH TRIGONA ...
-
Tak ada yang lebih indah dari berbagi, mengisi pada rasa yang belum lengkap hingga meronce sebuah jiwa yang beragam. Saling melengkapi dan ...