KAPAL
Oleh : Wahyu Heany Prismawati
Deru mesin
kapal memekakkan telah menjadi simponi yang melengkapi suara-suara alam. Bang
Juki melempar senyum miring kepadaku dengan kretek terselip disudut bibir,
tangannya menggenggam stik panjang kemudi kapal. Di buritan duduk Pak Mansur,
seorang pegawai Kementerian agama. Beliau Penyuluh Agama Islam untuk Pulau
Mendanau. Banyak cerita kudapatkan dalam perjalanan ini. Melengkapi hidupku. Pernah
suatu ketika tanpa sengaja tanganku menyentuh cerobong. Reflek dengan cepat
menarik tangan begitu sengat panas terasa. Tersenyum sendiri waktu itu.
Kebodohan kecil bagi seseorang yang belum pernah naik kapal. Sesudahnya menjadi
lelucon bagi teman-teman di puskesmas yang setengah mengolok ketidak tahuanku.
Ternyata beberapa teman ada yang melihat kejadian itu. Biasanya aku akan ikut
tertawa jika mereka membahas kejadian lucu itu di puskesmas. Mereka sudah
menjadi bagian dari keluargaku. Orang-orang kapal.
Kapal kayu
yang membawa penumpang setiap hari ke sebuah pulau terpencil. Dalam keseharian
membelah ombak, saat cuaca indah maupun ketika tak bersahabat. Gagahnya
menginspirasiku dalam membelajari hidup. Cintanya pada Samudra mengajarkanku tentang
cinta ibuku padaku. Ibuku, wanita cinta pertamaku di dunia. Aku tak pernah ingin
menukarnya dengan apapun di dunia ini. Bahkan ketika ibuku menyuruhku berhenti
mencintai Elena. Sekuat tenaga aku berjuang menghapus semua kenangan
tentangnya. Dan aku berhasil melupakannya. “Tidak pantas untukmu nak, carilah
Wanita mulia” “Wanita yang tidak mudah dibawa-bawa, kesannya jadi murah.
Gampangan” “Jaman sekarang tehnologi sudah sangat maju. Abang bisa bertaaruf
melalui whatsapp, Instagram atau media lain, tak harus ketemu-ketemu yang
memungkinkan timbulnya syahwat” kalimat – kalimat yang berulang kali kudengar
dari ibuku. Dan selalu silih berganti mengiang di tingkah deru mesin kapal. Mengisi
renung di setiap perjalananku.
Bingar kapal
mengkondisikan kelakar menjadi kurang efektif sehingga membuat penumpang lebih
banyak diam. Merenung. Begitupun aku. Self remind. Apapun bisa menjadi bahasan
menarik di kepalaku. Termasuk rutinitas pekerjaan, angan-angan tentang wanita pendamping
yang kucintai sekaligus diridhoi ibuku atau wacana profesiku ke depan. Atau apa
saja bisa tiba-tiba muncul di kepala dan menjadi bahasan yang panjang dan dalam
sepanjang perjalanan kapal. Komunikasi intrapersonal kata salah satu dosenku
dulu.
Hari ini
kapal nyaris penuh, akan ada hajatan resepsi pernikahan di Pulau Mendanau.
Pernikahan Suku Bugis yang menjadi mayoritas penduduk Pulau Mendanau. Suku Bugis sudah dikenal sebagai
pernikahan suku yang mahal karena nilai mahar yang harus diberikan yaitu emas.
Tapi tidak hanya maharnya yang mahal. Proses adat yang dimiliki oleh suku Bugis
pun cukup panjang dan meriah karena melibatkan seluruh orang dari keluarga
kedua belah pihak hampir disetiap prosesnya. Biasanya suku bugis di
pulau ini akan menggelar pesta pernikahan yang meriah dengan perias pengantin
yang di datangkan dari kota, yang bertanggung jawab merias pengantin sekaligus
menyulap pelaminan dan area pesta menjadi tempat yang indah dan menawan. Lantas
para tetua akan memimpin para Wanita menyiapkan berbagai sajian makanan
tradisional dan nasional yang disuguhkan dalam tempat-tempat sajian indah pada
tenda-tenda cantik yang berhias. Bahkan pesta akan dilengkapi dengan kehadiran
sekelompok pemain musik dan biduan – biduan cantik dengan panggung besar di
depan rumah pengantin. Kemudian para wanita kerabat pengantin akan bersolek lengkap
dengan gemerlap perhiasan mereka dan berbaris di depan pintu masuk menyambut
tetamu. Mereka akan saling berkelakar dengan bahasa ibunya yang sampai hari ini
masih sulit kumengerti. “Pernikahan Bugis, pak dokter” kata salah seorang temanku
di puskesmas suatu hari ketika kami diundang hadir dalam gelaran itu. Gemerlap.
Kesan pertama yang kudapat.
Beberapa
penumpang merupakan kerabat pengantin yang bermukim di kota. Kebanyakan mereka
suku bugis yang menjadi penduduk Pulau Mendanau memiliki dua buah rumah. Satu
rumah di pulau dan satu rumah di kota. Jika ada acara di pulau mereka biasanya
akan menyewa satu buah kapal dan berangkat beramai-ramai. Tapi kali ini tidak
karena mereka tak lebih dari 7 orang saja. Yang lainnya adalah Pegawai
Puskesmas, Pegawai Kantor Kecamatan dan guru SMP yang sudah biasa menumpang di
kapal ini. Kami saling mengenal satu sama lain karena sering dalam satu
perjalanan di kapal ini dan berkonvoi memacu sepeda motor setelahnya. Baik
perjalanan ke Pulau Mendanau maupun perjalanan dari Pulau Mendanau. Dengan tujuan
yang sama. Menjemput rezeki.
Para
lelaki penumpang kapal lebih sering duduk di haluan atau di buritan kapal, tak
peduli kapal penuh ataupun tidak. Tempat itu ideal karena kami bisa merokok
dalam diam. Atau sesekali berkelakar. Bahkan terkadang hanya saling melempar
senyum hingga kapal merapat. Seperti hari ini. Tanpa kata. Masing-masing sibuk
dengan handphone di tangan dan pikiran berkecamuk di kepala.
Hari ini
bakal ada kegiatan pelayanan Kesehatan bagi para lanjut usia di puskesmas.
Rencana hari ini aku akan memberikan penyuluhan tentang Kesehatan gigi pada
lanjut usia dan diakhiri dengan pemeriksaan gigi. Biasanya akan memakan waktu
cukup lama. Karena mereka selalu menginginkan waktu lebih banyak untuk
bercerita. Secara fisiologis lanjut usia sangat memerlukan teman untuk sharing,
meskipun hanya sekedar menceritakan tentang sepotong kegiatan mereka di sore
hari. Ah, aku jadi ingat dengan gigi-gigi ibuku. Seperti kebanyakan lanjut usia
demikian juga ibuku. Sebagian sudah tidak berfungsi secara maksimal, karang
gigi menumpuk dibeberapa gigi rahang bawah. Ibuku sering mengeluhkan hanya bisa
mengunyah di gigi sebelah kanan saja. Itupun ketika ku periksa geraham tak
satupun tersisa. Menghabiskan sepiring kecil nasi saja ibu selalu paling
terakhir selesai.
Wajah ibu
menari sejenak didepanku. Wanita mulia yang ditetapkan Allah melahirkanku.
Menjadikanku seorang dokter dengan perjuangan yang sulit kutuliskan. “Abang
ndak perlu berkecil hati jadi orang desa sekolah di kota. Yang penting tunjukan
kemampuan bahwa abang juga bisa berprestasi seperti mereka” itu yang ibuku
katakan ketika baru pertama kali akan bersekolah di sebuah SMP Negeri terbaik
di kota kabupaten kami. Ibu seperti menjawab kegelisahanku. Menepis
kekhawatiran yang berbicara lewat bahasa tubuhku. “Ibu tahu apa yang sedang
abang rasakan, sembilan bulan lebih abang ada ditubuh ibu” kalimat yang sering
ibu ucapkan ketika aku mulai dewasa. Sepotong
ujaran yang menjelaskan bahwa aku tidak perlu berbohong, karena ibu tahu yang aku
sembunyikan. “Begitupun aku ibu” aku biasa akan menjawabnya dalam hati dibalik
senyumku untuk ibu. Aku tahu kenapa tak ada sebentuk perhiasanpun menghias
tubuh ibu. Semua sudah habis engkau berikan untuk kuliahku, bahkan menyisakan
hutang. Belakangan aku mengetahui ibu bahkan pernah menjual anting yang sedang
dipakainya di sebuah toko emas demi mengirim uang kebutuhanku berkuliah. “Aku
tahu takkan pernah dapat mengganti semua pengorbananmu untukku sekalipun dunia
dan seisinya ku berikan untukmu, ibu” batinku.
Tubuhku dari darah dan air susumu, ibadahku dari ajaranmu yang tak berhenti
meski aku sering abai dan malas.
Tiba-tiba
seorang gadis didalam kapal menjulurkan kepalanya keluar dan memuntahkan isi
perutnya ke laut. Mabuk rupanya. Pemandangan biasa di kapal. Pada kondisi angin
bersahabat sekalipun bisa saja membuat penumpang mabuk. Terutama pemula. Ya,
bagi penumpang yang belum pernah naik kapal memang harus membiasakan diri
dengan goyangan ombak yang sesekali mengayun dan membuat perut tidak nyaman.
Dulu waktu
masih baru pertama naik kapal juga hal sama menimpaku. Meskipun tidak sampai
muntah. Tapi isi perutku seperti sedang diaduk dan hendak memaksa keluar lewat
mulutku. Sangat tidak nyaman. Jadi ingat nasehat temenku agar aku menutup
pusatku dengan salonpas atau plester sebelum naik kapal. Lucu jika
mengingatnya. Tetapi manjur juga nasehat temanku itu.
Bang Juki
mengurangi laju kapal, aku mengangkat kepalaku melempar pandanganku ke depan. Tiang-tiang
beton dermaga tampak tegap di depan sana menyambut kedatangan kapal yang hendak
bertambat. Dermaga yang kuat dan setia. Sebagian tiang tertanam dan terendam di
kedalaman pantai. Kuat menyangga ketika kapal-kapal bersandar. Tak lekang meski
dipecah ombak disetiap waktu. Laksana ibuku yang menantiku pulang dan menghamburkan
rindu dalam pelukan. Setia menanti di ujung pantai meski berbagai cuaca
mendera. Anganku sesaat terbang di masa
– masa kuliah. Aku jarang pulang hanya setiap lebaran dan sesekali di libur
semester. Selebihnya aku habiskan waktu liburku di Jakarta bersama
sabahat-sahabat seangkatanku. Dan ibu tetap setia menelponku “Jaga sholat nak”
kalimat itu yang selalu mengakhiri di percakapan kami di telepon. Saat ini
ketika aku sudah bekerja di pulau ini aku merasa ingin menebus kebersamaanku
dengan ibu.
Aku
menghidupkan sepeda motorku mengejar pintu puskesmas, meninggalkan Bang Juki
yang sibuk membongkar muatan kapal. Entah sudah berapa kali rutinitas ini
kulewati. Aku telah berhasil menikmati dan menyukainya. Aku yakin doa-doa ibu
yang membersamaiku di setiap langkahku yang menjadikan semua ini menjadi mudah
dan membuat hatiku tanpa beban menjalankan tugas-tugas ini. Bersahabat dengan
ombak dan aroma kapal. Bermitra dengan penat dan debu jalanan. Bahkan aku
menyadari betapa aku telah mencintai pulau ini. Aku punya banyak angan dan ekspektasi
tinggi bagi kemajuan pulau ini. Banyak hal yang ingin aku lakukan. Bahkan bila
suatu saat tugasku usai disini dan harus mengembangkan karierku di tempat lain.
Pulau ini akan tetap memiliki tempat di hatiku. Aku akan menggali potensi yang
ada dengan kemampuan yang kumiliki. Ibuku telah menginspirasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar