Sabtu, 14 Mei 2022

 

KAPAL

Oleh : Wahyu Heany Prismawati

 

Deru mesin kapal memekakkan telah menjadi simponi yang melengkapi suara-suara alam. Bang Juki melempar senyum miring kepadaku dengan kretek terselip disudut bibir, tangannya menggenggam stik panjang kemudi kapal. Di buritan duduk Pak Mansur, seorang pegawai Kementerian agama. Beliau Penyuluh Agama Islam untuk Pulau Mendanau. Banyak cerita kudapatkan dalam perjalanan ini. Melengkapi hidupku. Pernah suatu ketika tanpa sengaja tanganku menyentuh cerobong. Reflek dengan cepat menarik tangan begitu sengat panas terasa. Tersenyum sendiri waktu itu. Kebodohan kecil bagi seseorang yang belum pernah naik kapal. Sesudahnya menjadi lelucon bagi teman-teman di puskesmas yang setengah mengolok ketidak tahuanku. Ternyata beberapa teman ada yang melihat kejadian itu. Biasanya aku akan ikut tertawa jika mereka membahas kejadian lucu itu di puskesmas. Mereka sudah menjadi bagian dari keluargaku. Orang-orang kapal. 

Kapal kayu yang membawa penumpang setiap hari ke sebuah pulau terpencil. Dalam keseharian membelah ombak, saat cuaca indah maupun ketika tak bersahabat. Gagahnya menginspirasiku dalam membelajari hidup. Cintanya pada Samudra mengajarkanku tentang cinta ibuku padaku. Ibuku, wanita cinta pertamaku di dunia. Aku tak pernah ingin menukarnya dengan apapun di dunia ini. Bahkan ketika ibuku menyuruhku berhenti mencintai Elena. Sekuat tenaga aku berjuang menghapus semua kenangan tentangnya. Dan aku berhasil melupakannya. “Tidak pantas untukmu nak, carilah Wanita mulia” “Wanita yang tidak mudah dibawa-bawa, kesannya jadi murah. Gampangan” “Jaman sekarang tehnologi sudah sangat maju. Abang bisa bertaaruf melalui whatsapp, Instagram atau media lain, tak harus ketemu-ketemu yang memungkinkan timbulnya syahwat” kalimat – kalimat yang berulang kali kudengar dari ibuku. Dan selalu silih berganti mengiang di tingkah deru mesin kapal. Mengisi renung di setiap perjalananku.

Bingar kapal mengkondisikan kelakar menjadi kurang efektif sehingga membuat penumpang lebih banyak diam. Merenung. Begitupun aku. Self remind. Apapun bisa menjadi bahasan menarik di kepalaku. Termasuk rutinitas pekerjaan, angan-angan tentang wanita pendamping yang kucintai sekaligus diridhoi ibuku atau wacana profesiku ke depan. Atau apa saja bisa tiba-tiba muncul di kepala dan menjadi bahasan yang panjang dan dalam sepanjang perjalanan kapal. Komunikasi intrapersonal kata salah satu dosenku dulu.

Hari ini kapal nyaris penuh, akan ada hajatan resepsi pernikahan di Pulau Mendanau. Pernikahan Suku Bugis yang menjadi mayoritas penduduk Pulau Mendanau. Suku Bugis sudah dikenal sebagai pernikahan suku yang mahal karena nilai mahar yang harus diberikan yaitu emas. Tapi tidak hanya maharnya yang mahal. Proses adat yang dimiliki oleh suku Bugis pun cukup panjang dan meriah karena melibatkan seluruh orang dari keluarga kedua belah pihak hampir disetiap prosesnya. Biasanya suku bugis di pulau ini akan menggelar pesta pernikahan yang meriah dengan perias pengantin yang di datangkan dari kota, yang bertanggung jawab merias pengantin sekaligus menyulap pelaminan dan area pesta menjadi tempat yang indah dan menawan. Lantas para tetua akan memimpin para Wanita menyiapkan berbagai sajian makanan tradisional dan nasional yang disuguhkan dalam tempat-tempat sajian indah pada tenda-tenda cantik yang berhias. Bahkan pesta akan dilengkapi dengan kehadiran sekelompok pemain musik dan biduan – biduan cantik dengan panggung besar di depan rumah pengantin. Kemudian para wanita kerabat pengantin akan bersolek lengkap dengan gemerlap perhiasan mereka dan berbaris di depan pintu masuk menyambut tetamu. Mereka akan saling berkelakar dengan bahasa ibunya yang sampai hari ini masih sulit kumengerti. “Pernikahan Bugis, pak dokter” kata salah seorang temanku di puskesmas suatu hari ketika kami diundang hadir dalam gelaran itu. Gemerlap. Kesan pertama yang kudapat.

Beberapa penumpang merupakan kerabat pengantin yang bermukim di kota. Kebanyakan mereka suku bugis yang menjadi penduduk Pulau Mendanau memiliki dua buah rumah. Satu rumah di pulau dan satu rumah di kota. Jika ada acara di pulau mereka biasanya akan menyewa satu buah kapal dan berangkat beramai-ramai. Tapi kali ini tidak karena mereka tak lebih dari 7 orang saja. Yang lainnya adalah Pegawai Puskesmas, Pegawai Kantor Kecamatan dan guru SMP yang sudah biasa menumpang di kapal ini. Kami saling mengenal satu sama lain karena sering dalam satu perjalanan di kapal ini dan berkonvoi memacu sepeda motor setelahnya. Baik perjalanan ke Pulau Mendanau maupun perjalanan dari Pulau Mendanau. Dengan tujuan yang sama. Menjemput rezeki.

Para lelaki penumpang kapal lebih sering duduk di haluan atau di buritan kapal, tak peduli kapal penuh ataupun tidak. Tempat itu ideal karena kami bisa merokok dalam diam. Atau sesekali berkelakar. Bahkan terkadang hanya saling melempar senyum hingga kapal merapat. Seperti hari ini. Tanpa kata. Masing-masing sibuk dengan handphone di tangan dan pikiran berkecamuk di kepala.

Hari ini bakal ada kegiatan pelayanan Kesehatan bagi para lanjut usia di puskesmas. Rencana hari ini aku akan memberikan penyuluhan tentang Kesehatan gigi pada lanjut usia dan diakhiri dengan pemeriksaan gigi. Biasanya akan memakan waktu cukup lama. Karena mereka selalu menginginkan waktu lebih banyak untuk bercerita. Secara fisiologis lanjut usia sangat memerlukan teman untuk sharing, meskipun hanya sekedar menceritakan tentang sepotong kegiatan mereka di sore hari. Ah, aku jadi ingat dengan gigi-gigi ibuku. Seperti kebanyakan lanjut usia demikian juga ibuku. Sebagian sudah tidak berfungsi secara maksimal, karang gigi menumpuk dibeberapa gigi rahang bawah. Ibuku sering mengeluhkan hanya bisa mengunyah di gigi sebelah kanan saja. Itupun ketika ku periksa geraham tak satupun tersisa. Menghabiskan sepiring kecil nasi saja ibu selalu paling terakhir selesai.    

Wajah ibu menari sejenak didepanku. Wanita mulia yang ditetapkan Allah melahirkanku. Menjadikanku seorang dokter dengan perjuangan yang sulit kutuliskan. “Abang ndak perlu berkecil hati jadi orang desa sekolah di kota. Yang penting tunjukan kemampuan bahwa abang juga bisa berprestasi seperti mereka” itu yang ibuku katakan ketika baru pertama kali akan bersekolah di sebuah SMP Negeri terbaik di kota kabupaten kami. Ibu seperti menjawab kegelisahanku. Menepis kekhawatiran yang berbicara lewat bahasa tubuhku. “Ibu tahu apa yang sedang abang rasakan, sembilan bulan lebih abang ada ditubuh ibu” kalimat yang sering ibu ucapkan ketika aku mulai dewasa.  Sepotong ujaran yang menjelaskan bahwa aku tidak perlu berbohong, karena ibu tahu yang aku sembunyikan. “Begitupun aku ibu” aku biasa akan menjawabnya dalam hati dibalik senyumku untuk ibu. Aku tahu kenapa tak ada sebentuk perhiasanpun menghias tubuh ibu. Semua sudah habis engkau berikan untuk kuliahku, bahkan menyisakan hutang. Belakangan aku mengetahui ibu bahkan pernah menjual anting yang sedang dipakainya di sebuah toko emas demi mengirim uang kebutuhanku berkuliah. “Aku tahu takkan pernah dapat mengganti semua pengorbananmu untukku sekalipun dunia dan seisinya ku berikan untukmu, ibu”  batinku. Tubuhku dari darah dan air susumu, ibadahku dari ajaranmu yang tak berhenti meski aku sering abai dan malas.

Tiba-tiba seorang gadis didalam kapal menjulurkan kepalanya keluar dan memuntahkan isi perutnya ke laut. Mabuk rupanya. Pemandangan biasa di kapal. Pada kondisi angin bersahabat sekalipun bisa saja membuat penumpang mabuk. Terutama pemula. Ya, bagi penumpang yang belum pernah naik kapal memang harus membiasakan diri dengan goyangan ombak yang sesekali mengayun dan membuat perut tidak nyaman.

Dulu waktu masih baru pertama naik kapal juga hal sama menimpaku. Meskipun tidak sampai muntah. Tapi isi perutku seperti sedang diaduk dan hendak memaksa keluar lewat mulutku. Sangat tidak nyaman. Jadi ingat nasehat temenku agar aku menutup pusatku dengan salonpas atau plester sebelum naik kapal. Lucu jika mengingatnya. Tetapi manjur juga nasehat temanku itu.

Bang Juki mengurangi laju kapal, aku mengangkat kepalaku melempar pandanganku ke depan. Tiang-tiang beton dermaga tampak tegap di depan sana menyambut kedatangan kapal yang hendak bertambat. Dermaga yang kuat dan setia. Sebagian tiang tertanam dan terendam di kedalaman pantai. Kuat menyangga ketika kapal-kapal bersandar. Tak lekang meski dipecah ombak disetiap waktu. Laksana ibuku yang menantiku pulang dan menghamburkan rindu dalam pelukan. Setia menanti di ujung pantai meski berbagai cuaca mendera.  Anganku sesaat terbang di masa – masa kuliah. Aku jarang pulang hanya setiap lebaran dan sesekali di libur semester. Selebihnya aku habiskan waktu liburku di Jakarta bersama sabahat-sahabat seangkatanku. Dan ibu tetap setia menelponku “Jaga sholat nak” kalimat itu yang selalu mengakhiri di percakapan kami di telepon. Saat ini ketika aku sudah bekerja di pulau ini aku merasa ingin menebus kebersamaanku dengan ibu.

Aku menghidupkan sepeda motorku mengejar pintu puskesmas, meninggalkan Bang Juki yang sibuk membongkar muatan kapal. Entah sudah berapa kali rutinitas ini kulewati. Aku telah berhasil menikmati dan menyukainya. Aku yakin doa-doa ibu yang membersamaiku di setiap langkahku yang menjadikan semua ini menjadi mudah dan membuat hatiku tanpa beban menjalankan tugas-tugas ini. Bersahabat dengan ombak dan aroma kapal. Bermitra dengan penat dan debu jalanan. Bahkan aku menyadari betapa aku telah mencintai pulau ini. Aku punya banyak angan dan ekspektasi tinggi bagi kemajuan pulau ini. Banyak hal yang ingin aku lakukan. Bahkan bila suatu saat tugasku usai disini dan harus mengembangkan karierku di tempat lain. Pulau ini akan tetap memiliki tempat di hatiku. Aku akan menggali potensi yang ada dengan kemampuan yang kumiliki. Ibuku telah menginspirasiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...