Sabtu, 21 Mei 2022

 


AIR MATA

oleh : Wahyu Heany Prismawati

 

Sera masih termenung jemarinya memainkan telepon genggam, entah sudah berapa lama berlalu. Kepalanya penuh dengan kalimat-kalimat yang ingin diucapkan tapi entah sudah berapakali dikoreksinya dalam diam. Takut melukai. Sesekali punggung tangannya menyusut air mata di ujung pelupuk, mengalir tanpa isak. Guntur adalah pria pujaan tapi tak dapat untuk dimiliki. Guntur terlalu mencintai ibunya. Tak ingin hati ibunya terluka. Bagi Guntur ibunya adalah segalanya. Biar saja luka menoreh kepingan hatinya. Guntur rela, ia meyakini cinta ibunya yang akan menyembuhkannya kembali.  Guntur tahu keputusannya sangat melukai hati Sera yang saat ini duduk di sampingnya. Tapi dia merasa harus menyelesaikan dengan segera. Guntur begitu yakin Allah akan menggantinya dengan pasangan yang lebih mulia bagi keduanya.

                Guntur tak berani memandang perempuan di sampingnya. Tak ingin gamang datang hingga menghancurkan semuanya. Dia bisa merasakan betapa Sera sangat terpukul dengan keputusan ini. Karena mereka memiliki perasaan yang sama.

 “Maafkan aku Sera, mari kita lewati perjalanan di depan sana tanpa saling menyalahkan. Menerima kenyataan ini dengan ikhlas agar tak ada luka dan amarah.  Semoga kamu lekas mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku.” Diam. Tak ada suara. Bahkan angin enggan berdesir. Nyaris setengah jam berlalu tanpa kata.

“Mari Sera, biarkan aku mengantarmu pulang. Sekali lagi maafkan aku” ujar Guntur seraya beranjak dari bangku taman. Sera beranjak nyaris limbung, menatap sekitar taman dengan mata nanar, ufuk barat yang biasanya mempesona menanti matahari pulang kali ini membeku tanpa rasa.

                Hubungan itu kandas setelah nyaris satu tahun dipertahankan tanpa restu Ibunya Guntur. Entah berapa kali pembahasan dilakukan namun tiada titik temu. Guntur pemuda yang taat agama. Cintanya pada ibunya sangat besar, tak mampu dia menukarnya untuk sekeping cintanya pada Sera, perempuan yang telah mengisi relung hatinya belakangan ini.

Langkahnya pasti meninggalkan rumah Sera, menuju pulang. Kelopak matanya basah tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman.

“Ibu, aku telah memenangkan pertarungan ini. Aku tak ingin menyelesaikan perjalanan ini tanpa ridamu, aku tak akan membiarkanmu terluka oleh apapun, apalagi karena ulahku.”

Seorang perempuan berabaya moka duduk di kursi kayu, sebuah buku tipis ada di tangannya. Agak lusuh karena terlalu sering dibuka. Sebagian wajah mungilnya terlindung jilbab lebar yang menjela hingga kedua bahu. Beberapa kerutan menghias sekitar kedua matanya. Hidung bangirnya menyisakan kecantikan masa lalu.  Bibirnya bergerak – gerak dengan suara lirih dan jemarinya sesekali membuka buku tipis di tangannya. Layaknya orang sedang menghafal.

Pintu pagar di depan rumah bergerak, sepasang kaki melangkah lebar-lebar melewati perdu yang tertata di sepanjang koridor. Setiba di teras senyumnya mengembang. Guntur bergegas meraih tangan ibunya membawanya mendekat bibirnya dan mencium berulang-ulang.

“Ibu, aku sudah berhasil meninggalkannya. Terima kasih atas doa-doa ibu selama ini” Guntur meraih tubuh mungil ibunya dan memeluk dengan erat.

***

Meskipun sudah satu tahun berlalu seluruh rangkaian cerita itu tidak hilang begitu saja di benak Khadija. Hari ini ia sangat bahagia. Guntur putra sulungnya  mempersunting Aisha. Gadis desa yang pernah berkuliah di kota dan saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Gadis dengan akhlaq mulia, memiliki pergaulan yang terjaga. Paras rupawan dengan postur tubuh semampai. Kedua pipinya sesekali terlihat memerah tersipu. Gadis pemalu.

Khadija secara diam – diam meminta bantuan seorang teman lama untuk membuka hati Guntur untuk Aisha. Sekedar berkenalan melalui sosial media. Pastinya berkat pertolongan Allah sehingga semua berjalan dengan mudah. Sampai hari ini Guntur tidak mengetahui bahwa ibunyalah yang mengkondisikan sehingga ia mengenal Aisha dan jatuh hati kepadanya. Sesungguhnya Allah yang meletakkan cinta Guntur bagi Aisha. Alhamdulillah.

Pesta kebun sederhana dipadati kehadiran keluarga besar Aisha dan Guntur serta sahabat dan handai taulan keduanya terselenggara dengan hikmad. Aldaf yang merancang semuanya. Adik Guntur satu-satunya. Kebun belakang rumah mereka berhasil disulap menjadi sebuah taman nan indah. Aldaf tampak berbakat menanganinya. Hamparan bunga tertata dari mulai masuk halaman rumah. Beberapa gapura cantik berhiaskan bunga-bunga dan sehelai selendang yang bergelung dengan ujung yang berkibar melambai mengisyaratkan sebuah pesta. Bentang setapak meliku dari potongan-potongan batang albasia seperti pualam yang berbaris menuju area pesta. Ada tiga gapura cantik sepanjang setapak dari parkiran hingga area pesta. Beberapa muda mudi berbaris di tiga gapura menyambut tetamu. Mereka sepupu – sepupu Aisha dan Guntur. Khadija pernah berpesan,

 “Nanti yang menyambut tamu sepupu-sepupu kalian atau pasangan-pasangan yang sudah halal ya,”

“Baik ibu” janji perias pengantin pada saat itu. Khadija sangat berhati-hati. Ia menginginkan anak-anak dan keluarganya terjaga dari maksiat.

Perhelatan nan islami. Dengan menggunakan pakem pesta kebun. Bangku-bangku taman dari kayu hadir di bawah pokok matoa yang rimbun. Beberapa sengaja dipadukan dengan payung-payung taman. Sajian hidangan ditata di atas meja-meja yang berpencar di area taman. Masing-masing dijaga oleh gadis-gadis berkerudung nan ramah melayani tetamu yang hendak mengambil hidangan. Celoteh tetamu ditingkah denting sendok beradu mewarnai alunan lagu-lagu gambus yang dilantunkan oleh sekelompok pemusik, penyanyinya tampak anggun berbalut pakaian panjang dengan jilbab yang menjela. Sayup-sayup lirik Deen Assalam merebak menebarkan kesyahduan pesta.

Sesaat Khadija tersentak melihat pasangan yang melangkah mendekati pelaminan. Seperti diberi aba-aba mereka yang ada di panggung pelaminan berdiri serempak. Semakin dekat pasangan itu berjalan menghampiri. Perempuan dengan rambut sebahu diurai, mengiring di sisinya seorang laki-laki berbadan tegap. Tangannya selalu menggamit jemari perempuan di sampingnya. Perempuan itu Sera. Senyumnya mengembang sejak dari pintu masuk. Tangannya sesekali memegang perutnya yang sedikit membuncit. Melangkah dengan kehati-hatian.

“Terima Kasih ya, sudah menyempatkan datang”

“Wah sudah kelihatan ya, kapan ini taksiran melahirkannya.”sambut Khadija.

“Masih empat bulan lagi tante” jawab Sera. Khadija memandang mata Sera tak menemukan kebencian di sana. Terbersit pada sebagian doa-doanya waktu itu,

“Ya Robb, berikan keduanya segera pasangan yang lebih baik dari saat ini. Engkau adalah Dzat yang berkuasa atas setiap hati.” Alhamdulillah.

Senyum Khadija masih mengembang mengiring pasangan muda itu berlalu. Dengan ekor matanya Khadija melihat Guntur dan Aisha sibuk menyalami tamu berikutnya. Keduanya sesekali beradu pandang. Betapa mereka tampak sangat bahagia. Khadija duduk Kembali, tangannya menyodorkan minuman kepada Umar di sampingnya. Suami yang sangat dihormati dan dicintainya.

Keduanya telah bersama dalam perkawinan selama tidak kurang dari tiga puluh dua tahun. Berbagai cerita suka dan duka banyak mereka lewati. Dengan keberkahan Allah semua tetap menjadi indah. Semula Umar seorang ayah yang sangat jarang berbicara. Khadija sering mengingatkan bahwa kita sebagai orang tua akan diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti. Tentang apa yang sudah kita lakukan untuk mendidik, membesarkan dan memberikan pedoman hidup bagi anak-anak  yang telah Allah titipkan kepada kita,

“Sampaikan sesuatu kepada mereka. Jangan diam ketika melihat hal yang tidak sesuai dengan kaidah agama kita” ujar Khadija di tiap kesempatan.

“Berbicara menasehati anak tidak akan menurunkan martabat seorang ayah. Justru sebaliknya akan membangun kedekatan. Nasehat dari ayah akan lebih didengar oleh anak-anak secara teori psikhologis karena Allah telah menganugerahkan bagi seorang ayah suara yang sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan  wibawa. Manfaatkan itu untuk mendukung nasehat-nasehat ibu yang sudah sering diperdengarkan setiap hari” Khadija terus mengulang dan mengulang. Dan Allah menjawab doanya. Semua karena Allah. Umar perlahan berubah karena Allah bukan karena Khadija. Khadija hanya berdoa di setiap penghujung malam,

“Ya Robb, hamba menginginkan suami hamba hatinya terpaut pada masjid, jiwanya dikuasai cinta Alquran, penghujung malamnya dihiasi sujud, menyayangi keluarga dengan lisan dan raganya.” Dan Khadija telah mendapatkan semuanya. Betapa Rahman dan Rahimnya Allah.

Pesta usai. Khadija tersenyum ketika Umar meraih jemarinya mengajak turun dari panggung pelaminan. Aldaf di bawah menyambutnya.

“Mari ibu, kita foto lagi di booth – booth cantik itu. Sayangkan Aldaf sudah membuatnya dengan sangat indah kalau ibu tidak berfoto di sana.” Ujar Aldaf sambil menggamit lengan ibunya. Khadija hampir tidak menyadari rangkaian foto keluarga di atas panggung pelaminan tadi. Pikirannya dipenuhi lamunan-lamunan yang membuatnya sangat bersyukur dengan ketetapan Allah yang ia terima.

“Mbak sini,“ seseorang melambaikan tangannya. Adik Khadijah yang datang dari jawa beberapa hari sebelum perhelatan. Semua adik-adik Khadija datang.

“Foto di sini kita mbak, jangan melamun terus mbak sayang.” Dwi seperti tahu sepanjang pesta tadi senyum kakaknya mengembang tetapi sebagian tatapannya melamun. Itulah persaudaraan. Selalu ada temali yang tak tampak di hati masing-masing. Khadija memeluk Dwi sangat erat, menahan air mata yang sedari tadi memaksa mengalir. Seorang perempuan sepuh berusia tujuh puluhan duduk di salah satu kursi, jemarinya menyusut air mata demi memandang kedua anaknya berpelukan. Lantas sesaat keduanya menghambur dipangkuan ibu. Aldaf memandang dan menghela nafas,

“Ahh, perempuan. Sebagian dari ciptaan Allah yang air matanya demikian sakral dan mampu meruntuhkan segala bentuk ketidak mungkinan“ujar hatinya dalam senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...