AIR MATA
oleh : Wahyu Heany Prismawati
Sera masih termenung
jemarinya memainkan telepon genggam, entah sudah berapa lama berlalu. Kepalanya
penuh dengan kalimat-kalimat yang ingin diucapkan tapi entah sudah berapakali
dikoreksinya dalam diam. Takut melukai. Sesekali punggung tangannya menyusut
air mata di ujung pelupuk, mengalir tanpa isak. Guntur adalah pria pujaan tapi
tak dapat untuk dimiliki. Guntur terlalu mencintai ibunya. Tak ingin hati
ibunya terluka. Bagi Guntur ibunya adalah segalanya. Biar saja luka menoreh
kepingan hatinya. Guntur rela, ia meyakini cinta ibunya yang akan
menyembuhkannya kembali. Guntur tahu
keputusannya sangat melukai hati Sera yang saat ini duduk di sampingnya. Tapi
dia merasa harus menyelesaikan dengan segera. Guntur begitu yakin Allah akan
menggantinya dengan pasangan yang lebih mulia bagi keduanya.
Guntur
tak berani memandang perempuan di sampingnya. Tak ingin gamang datang hingga
menghancurkan semuanya. Dia bisa merasakan betapa Sera sangat terpukul dengan
keputusan ini. Karena mereka memiliki perasaan yang sama.
“Maafkan aku Sera, mari kita lewati perjalanan
di depan sana tanpa saling menyalahkan. Menerima kenyataan ini dengan ikhlas
agar tak ada luka dan amarah. Semoga
kamu lekas mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku.” Diam. Tak ada suara.
Bahkan angin enggan berdesir. Nyaris setengah jam berlalu tanpa kata.
“Mari Sera, biarkan
aku mengantarmu pulang. Sekali lagi maafkan aku” ujar Guntur seraya beranjak
dari bangku taman. Sera beranjak nyaris limbung, menatap sekitar taman dengan
mata nanar, ufuk barat yang biasanya mempesona menanti matahari pulang kali ini
membeku tanpa rasa.
Hubungan
itu kandas setelah nyaris satu tahun dipertahankan tanpa restu Ibunya Guntur.
Entah berapa kali pembahasan dilakukan namun tiada titik temu. Guntur pemuda
yang taat agama. Cintanya pada ibunya sangat besar, tak mampu dia menukarnya
untuk sekeping cintanya pada Sera, perempuan yang telah mengisi relung hatinya belakangan
ini.
Langkahnya
pasti meninggalkan rumah Sera, menuju pulang. Kelopak matanya basah tetapi
bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Ibu, aku
telah memenangkan pertarungan ini. Aku tak ingin menyelesaikan perjalanan ini
tanpa ridamu, aku tak akan membiarkanmu terluka oleh apapun, apalagi karena
ulahku.”
Seorang perempuan
berabaya moka duduk di kursi kayu, sebuah buku tipis ada di tangannya. Agak
lusuh karena terlalu sering dibuka. Sebagian wajah mungilnya terlindung jilbab
lebar yang menjela hingga kedua bahu. Beberapa kerutan menghias sekitar kedua
matanya. Hidung bangirnya menyisakan kecantikan masa lalu. Bibirnya bergerak – gerak dengan suara lirih
dan jemarinya sesekali membuka buku tipis di tangannya. Layaknya orang sedang
menghafal.
Pintu pagar di
depan rumah bergerak, sepasang kaki melangkah lebar-lebar melewati perdu yang
tertata di sepanjang koridor. Setiba di teras senyumnya mengembang. Guntur
bergegas meraih tangan ibunya membawanya mendekat bibirnya dan mencium berulang-ulang.
“Ibu, aku
sudah berhasil meninggalkannya. Terima kasih atas doa-doa ibu selama ini”
Guntur meraih tubuh mungil ibunya dan memeluk dengan erat.
***
Meskipun sudah
satu tahun berlalu seluruh rangkaian cerita itu tidak hilang begitu saja di
benak Khadija. Hari ini ia sangat bahagia. Guntur putra sulungnya mempersunting Aisha. Gadis desa yang pernah
berkuliah di kota dan saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Gadis
dengan akhlaq mulia, memiliki pergaulan yang terjaga. Paras rupawan dengan
postur tubuh semampai. Kedua pipinya sesekali terlihat memerah tersipu. Gadis
pemalu.
Khadija secara
diam – diam meminta bantuan seorang teman lama untuk membuka hati Guntur untuk
Aisha. Sekedar berkenalan melalui sosial media. Pastinya berkat pertolongan
Allah sehingga semua berjalan dengan mudah. Sampai hari ini Guntur tidak
mengetahui bahwa ibunyalah yang mengkondisikan sehingga ia mengenal Aisha dan
jatuh hati kepadanya. Sesungguhnya Allah yang meletakkan cinta Guntur bagi
Aisha. Alhamdulillah.
Pesta kebun
sederhana dipadati kehadiran keluarga besar Aisha dan Guntur serta sahabat dan
handai taulan keduanya terselenggara dengan hikmad. Aldaf yang merancang
semuanya. Adik Guntur satu-satunya. Kebun belakang rumah mereka berhasil
disulap menjadi sebuah taman nan indah. Aldaf tampak berbakat menanganinya.
Hamparan bunga tertata dari mulai masuk halaman rumah. Beberapa gapura cantik
berhiaskan bunga-bunga dan sehelai selendang yang bergelung dengan ujung yang
berkibar melambai mengisyaratkan sebuah pesta. Bentang setapak meliku dari
potongan-potongan batang albasia seperti pualam yang berbaris menuju area
pesta. Ada tiga gapura cantik sepanjang setapak dari parkiran hingga area
pesta. Beberapa muda mudi berbaris di tiga gapura menyambut tetamu. Mereka
sepupu – sepupu Aisha dan Guntur. Khadija pernah berpesan,
“Nanti yang menyambut tamu sepupu-sepupu
kalian atau pasangan-pasangan yang sudah halal ya,”
“Baik ibu”
janji perias pengantin pada saat itu. Khadija sangat berhati-hati. Ia
menginginkan anak-anak dan keluarganya terjaga dari maksiat.
Perhelatan nan
islami. Dengan menggunakan pakem pesta kebun. Bangku-bangku taman dari kayu
hadir di bawah pokok matoa yang rimbun. Beberapa sengaja dipadukan dengan
payung-payung taman. Sajian hidangan ditata di atas meja-meja yang berpencar di
area taman. Masing-masing dijaga oleh gadis-gadis berkerudung nan ramah melayani
tetamu yang hendak mengambil hidangan. Celoteh tetamu ditingkah denting sendok
beradu mewarnai alunan lagu-lagu gambus yang dilantunkan oleh sekelompok
pemusik, penyanyinya tampak anggun berbalut pakaian panjang dengan jilbab yang
menjela. Sayup-sayup lirik Deen Assalam merebak menebarkan kesyahduan pesta.
Sesaat Khadija
tersentak melihat pasangan yang melangkah mendekati pelaminan. Seperti diberi
aba-aba mereka yang ada di panggung pelaminan berdiri serempak. Semakin dekat
pasangan itu berjalan menghampiri. Perempuan dengan rambut sebahu diurai,
mengiring di sisinya seorang laki-laki berbadan tegap. Tangannya selalu
menggamit jemari perempuan di sampingnya. Perempuan itu Sera. Senyumnya
mengembang sejak dari pintu masuk. Tangannya sesekali memegang perutnya yang sedikit
membuncit. Melangkah dengan kehati-hatian.
“Terima Kasih
ya, sudah menyempatkan datang”
“Wah sudah
kelihatan ya, kapan ini taksiran melahirkannya.”sambut Khadija.
“Masih empat
bulan lagi tante” jawab Sera. Khadija memandang mata Sera tak menemukan
kebencian di sana. Terbersit pada sebagian doa-doanya waktu itu,
“Ya Robb, berikan
keduanya segera pasangan yang lebih baik dari saat ini. Engkau adalah Dzat yang
berkuasa atas setiap hati.” Alhamdulillah.
Senyum Khadija
masih mengembang mengiring pasangan muda itu berlalu. Dengan ekor matanya Khadija
melihat Guntur dan Aisha sibuk menyalami tamu berikutnya. Keduanya sesekali
beradu pandang. Betapa mereka tampak sangat bahagia. Khadija duduk Kembali, tangannya
menyodorkan minuman kepada Umar di sampingnya. Suami yang sangat dihormati dan
dicintainya.
Keduanya telah
bersama dalam perkawinan selama tidak kurang dari tiga puluh dua tahun.
Berbagai cerita suka dan duka banyak mereka lewati. Dengan keberkahan Allah
semua tetap menjadi indah. Semula Umar seorang ayah yang sangat jarang
berbicara. Khadija sering mengingatkan bahwa kita sebagai orang tua akan
diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti. Tentang apa yang sudah kita
lakukan untuk mendidik, membesarkan dan memberikan pedoman hidup bagi
anak-anak yang telah Allah titipkan
kepada kita,
“Sampaikan
sesuatu kepada mereka. Jangan diam ketika melihat hal yang tidak sesuai dengan
kaidah agama kita” ujar Khadija di tiap kesempatan.
“Berbicara
menasehati anak tidak akan menurunkan martabat seorang ayah. Justru sebaliknya
akan membangun kedekatan. Nasehat dari ayah akan lebih didengar oleh anak-anak
secara teori psikhologis karena Allah telah menganugerahkan bagi seorang ayah
suara yang sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan wibawa. Manfaatkan itu untuk mendukung
nasehat-nasehat ibu yang sudah sering diperdengarkan setiap hari” Khadija terus
mengulang dan mengulang. Dan Allah menjawab doanya. Semua karena Allah. Umar perlahan
berubah karena Allah bukan karena Khadija. Khadija hanya berdoa di setiap penghujung
malam,
“Ya Robb,
hamba menginginkan suami hamba hatinya terpaut pada masjid, jiwanya dikuasai
cinta Alquran, penghujung malamnya dihiasi sujud, menyayangi keluarga dengan
lisan dan raganya.” Dan Khadija telah mendapatkan semuanya. Betapa Rahman dan
Rahimnya Allah.
Pesta usai.
Khadija tersenyum ketika Umar meraih jemarinya mengajak turun dari panggung
pelaminan. Aldaf di bawah menyambutnya.
“Mari ibu,
kita foto lagi di booth – booth cantik itu. Sayangkan Aldaf sudah membuatnya
dengan sangat indah kalau ibu tidak berfoto di sana.” Ujar Aldaf sambil menggamit
lengan ibunya. Khadija hampir tidak menyadari rangkaian foto keluarga di atas
panggung pelaminan tadi. Pikirannya dipenuhi lamunan-lamunan yang membuatnya
sangat bersyukur dengan ketetapan Allah yang ia terima.
“Mbak sini,“ seseorang
melambaikan tangannya. Adik Khadijah yang datang dari jawa beberapa hari
sebelum perhelatan. Semua adik-adik Khadija datang.
“Foto di sini
kita mbak, jangan melamun terus mbak sayang.” Dwi seperti tahu sepanjang pesta
tadi senyum kakaknya mengembang tetapi sebagian tatapannya melamun. Itulah
persaudaraan. Selalu ada temali yang tak tampak di hati masing-masing. Khadija
memeluk Dwi sangat erat, menahan air mata yang sedari tadi memaksa mengalir.
Seorang perempuan sepuh berusia tujuh puluhan duduk di salah satu kursi, jemarinya
menyusut air mata demi memandang kedua anaknya berpelukan. Lantas sesaat
keduanya menghambur dipangkuan ibu. Aldaf memandang dan menghela nafas,
“Ahh,
perempuan. Sebagian dari ciptaan Allah yang air matanya demikian sakral dan
mampu meruntuhkan segala bentuk ketidak mungkinan“ujar hatinya dalam senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar