RIANTI
oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Pantai Tanjung Tinggi bisu, mewakili
sepinya hati Rianti. Jiwanya dipenuhi gamang, sedih sekaligus amarah. Di
sampingnya Rozak duduk merangkul bahunya. Pasir pantai melumuri kaki-kaki
mereka, memberikan sensasi damai. Sesekali
riak-riak kecil menyapunya. Di dekat batuan riang dua bocah bermain air laut.
Sesekali Rianti menyusut air matanya dengan punggung tangannya. Rozak meraih
bahu Rianti membawanya mendekat hingga kepala Rianti bersandar di bahunya. Menepis
perasaan bersalah atas perundungan yang diterima istrinya oleh tetangga maupun
sanak saudaranya.
“Tak perlu kau hiraukan
perkataan mereka, kamu tetap wanita terbaik bagiku. Bagi anak-anak kita.”
“Lihat kedua anak kita
Rianti. Belum tiga bulan mereka bersama, mereka sudah nampak sangat dekat
bahkan aku melihat Nisha sangat bahagia. Aku sudah sangat lama tidak melihat Nisha
tertawa hingga terbahak sepeninggal ibunya”
“Aku yakin kita bisa
melewati ini semua dengan baik bersama anak-anak kita”
Rozak terus mengatakan
hal-hal positif berharap Rianti akan tenang, tak lagi bersedih.
Rianti adalah perempuan berdarah sunda yang terjual
kehormatannya demi suatu hal yang sama sekali tidak masuk akal. Rianti
ditinggalkan mantan suaminya yang kabur setelah kalah berjudi. Mirisnya sang mantan
meninggalkan hutang dengan perjanjian tubuhnya sebagai alat pembayar. Rianti
cantik tak berdaya ketika seorang lelaki paruh baya menggerayanginya dengan
seringai, lengkap berjaga para
centengnya di luar bilik. Setelah puas lelaki itu menjualnya pada seorang pemilik
café untuk dilacurkan ke pulau seberang.
***
Malam itu Café Lemora ramai pengunjung. Di deretan meja
bar, asap rokok membumbung. Beberapa lelaki hidung belang duduk sembari menikmati
minuman. Mulai dari sekedar segelas kopi hingga minuman beralkohol dengan
perempuan-perempuan berdandan menor di sisinya. Seorang wanita berambut sebahu dicat
pirang duduk genit di pangkuan, seorang lagi berdandan korean bergelayut manja
di sebelah seorang pria. Para penjaja cinta sesaat. Rianti bersembunyi di sudut kamar belakang.
Sudah tiga kali mucikari mengetuk pintu kamarnya untuk segera keluar. Tak
bergeming. Rianti sibuk menghapus air mata yang tak henti mengalir.
“Baru ? “ Tegur Rozak pada
sang mucikari di lorong menuju toilet. Rozak sempat memergoki wajah Rianti di
sela pintu kamar yang terbuka saat pemilik café memaggil Rianti. Berdesir
sesaat jantung Rozak.
“Nangis terus sudah
nyaris seminggu ngga bisa dipakai” Keluhnya
“Aku boleh ketemu ngga ?”
“Waah sejak kapan kamu
suka belanja barangku?”
“Yang ini beda”
“Kampret” maki pemilik
café seraya membalikkan badan menuju bilik milik Rianti.
Rozak adalah seorang sopir sebuah perusahaan yang
menyuplai batu es untuk Café Lemora. Hampir tiga kali dalam seminggu Rozak
keluar masuk café itu. Pemiliknya sudah sangat akrab dengannya dan tahu selama
ini Rozak tidak pernah memakai pajangannya. Setiap kali ditawari selalu menolak
dengan candaan-candaan ringan seperti “Ah, kurang cantik” atau dengan kalimat
yang lain “Ntar deh belum ada mood” dan dalih-dalih lainnya.
Bagi Rozak tidak pantas untuk bersenang-senang dengan
perempuan-perempuan itu sementara anaknya setiap petang selalu taat belajar
mengaji. Hutangnya pada almarhumah Rianti Nisha sangat besar hingga tak kuasa
ia menodainya dengan hal-hal yang bejat.
“Keluarlah, ini ada orang
baik-baik ingin menemuimu” Gendon, sang pemilik café mengetuk kembali bilik
Rianti dan membukanya. Kali ini Rianti mengangkat wajahnya. Entah apa yang
membuatnya tiba-tiba merasa memiliki secercah harapan. Gendon tersenyum dengan
seringai. demi melihat Rianti perlahan berdiri dari sisi ranjangnya. Merapikan
rambut legamnya yang tergerai hingga pinggang dan menyapu sisa air mata dengan
sehelai handuk di sandaran kursi. Melangkah keluar. Mata Gendon semakin
berbinar, laksana melihat sekoper besar uang ratusan rRianti tengah melenggang.
Angannya melambung pada pundi-pundi yang bakal penuh.
Rozak duduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Ada dua
kursi melengkapi meja kayu itu. Di atas
meja ada asbak dan sebuah kotak tissue. Lembar menu terselip di antara
keduanya. Rianti melangkah sedikit ragu dan mengambil duduk di kursi yang
tersisa. Rozak sejenak berdiri mengulurkan tangan menyebutkan namanya, Rianti
mengikutinya.
“Nama yang bagus.” Entah
dari mana Rozak bisa mengucapkan kata-kata itu. Sekilas seperti kata-kata
rayuan. Tapi sejatinya Rozak sudah menyukai nama itu, mungkin setelah melihat
empunya di keremangan kamarnya tadi.
Tak banyak obrolan malam itu, Keduanya masih nampak
sama-sama canggung. Sesekali Rianti mencuri pandang melihat wajah pria di
sebelah kursinya, tidak seberapa tampan. Perawakan sedang. Rambut agak ikal. Rianti
mencoba menebak usia Rozak sekitar satu atau dua tahun saja di atasnya. Sekali bertemu
Rianti sudah bisa menebak Rozak bukan seperti laki-laki kebanyakan. Sudah
hampir setengah jam mengobrol tak ada isyarat Rozak mengajak masuk bilik
seperti kebanyakan pria-pria yang mengencani teman-temannya di café. Alih-alih
Rozak malah mengajaknya keluar.
“Kamu pasti belum pernah
melihat pantai kami di malam hari, di bawah rembulan” Ujarnya.
Lantas berdiri mengajak Rianti. Di kejauhan
Gendon melambai. Keduanya saling memahami isyarat yang terkirim.
Tepian pantai Tanjung Pendam di bawah temaram rembulan
sangat eksotik. Keduanya duduk bersebelahan.
“Bagaimana pantai kami,
indah bukan ?” Rozak berusaha mencairkan suasana. Rianti tersenyum membuat
darah Rozak berdesir.
“Kamu boleh cerita
denganku tentang apa saja. Termasuk mengapa kamu sampai ada di Lemora” Ujar
Rozak sambil memandang rembulan.
Entah ada kekuatan dari
mana hingga Rianti dengan mudah menceritakan semua tentang masa lalunya hingga
sampai terdampar di pulau ini.
“Anakku bersama dengan mamahku di kampung” Ujar Rianti mengakhiri kisahnya.
“Kalau kamu mau, aku akan
menemani perjalanan hidupmu selanjutnya Rianti”
“Jangan terburu – buru
bang, kita baru kenal malam ini” Sanggah Rianti. Hati kecilnya surut tak ingin
kecewa.
“Aku akan membawamu
keluar dari café itu dan menikahimu” Timpal Rozak kembali. Rianti kembali
menangis, terharu lantaran menemukan seorang pria yang menawarkan kehidupan
lebih baik untuknya.
“Kamu boleh membawa
anakmu bersama kita kalau kamu mau,” sambung Rozak kembali. Kemudian Rozak
menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tentang istrinya yang meregang nyawa
karena kanker rahim dan meninggalkan seorang putri belia yang saat ini berusia
tujuh tahun.
“Aku tak ingin menutupi
keadaanku. Aku masih memiliki seorang ibu yang sehari – hari mengurus kami
berdua, aku ingin kita melanjutkan hidup ini bersama kalian”Ujar Rozak
“Aku tahu seperti apa ibuku.
Aku yakin ibu akan menerima kalian dengan baik”Rozak meyakinkan.
***
Bukan perkara mudah membaur bersama
masyarakat pedesaan atau masuk ke dalam komunitas baru bagi orang asing apalagi
sebelumnya sudah tersiar kabar kurang sedap yang dibumbui dengan aneka cerita.
Rozak bukan orang yang terlalu taat agama. Tetapi bukan pula seorang berandal
yang suka membuat onar ataupun perbuatan tak terpuji lainnya. Tetapi para tetangga
seolah tak berpihak ketika mendengar Rozak akan menikahi seorang janda beranak
satu yang ditemukan di sebuah café. Bahkan hingga perkawinan mereka sudah
berumur tiga bulan dan Rianti sudah mulai telat menstruasipun tatapan tak sedap
masih terus mengiringi langkah Rianti setiap kali harus keluar rumah ke warung
atau ketika harus berpapasan dengan tetangga. Rianti dipandang seperti kotoran
yang tak layak berada di kampung mereka.
Biasanya Rianti akan masuk kamar dan menangis. Entah sampai kapan ini bakal
terjadi.
“Sudahlah Rianti,
Bersabarlah. Nanti mereka akan mengerti dan menerima keadaan ini. Tak perlu
kita mengatakan apapun pada mereka. Dan sebaliknya tak perlu kamu bersedih.
Umak yakin suatu hari nanti semua bakal baik-baik saja. Tugas kamu sekarang
meningkatkan ibadahmu, mengurus suami dan anak-anak kalian. Berdoalah, Allah
yang akan memperbaiki semuanya”Umak Rozak menasehati Rianti. Entah sudah berapa
kali Umak mengulang kalimat itu. Rianti merasakan ketulusan beliau. Menerima
keberadaan Rianti. Bagi Umak kebahagiaannya adalah ketika anaknya Rozak dan
cucunya Nisha berbahagia. Dan Umak sudah melihatnya. Apalagi ketika Cicih,
anaknya Rianti diboyong dan berkumpul di rumah Umak, kehadirannya menjadi
penyempurna kebahagiaan cucunya. Keduanya seumuran dan gelak mereka ketika
bermain membuat rumah Umak menjadi hidup.
***
Petang bermega, lembayung berpulas rona tembaga
menghias ufuk,
menyambut
matahari pulang
Warna
alam siarkan kala,
berkata
pada malam yang menanti berjaga
pada
rembulan yang mengendap di balik rimbun dedaunan taman.
Hari
Minggu lusa akan diselenggarakan Selamatan kelahiran bayi Rianti dan Rozak. Rianti
masih terkesima mendapatkan kenyataan dua hari ini. Hingga petang ini semua
tetangga silih berganti berdatangan. Memenuhi rumah dan halaman. Sibuk memasang
tenda, membuat aneka masakan. Menghias dan merapikan rumah. Dan yang lebih
membuat Rianti terharu mereka demikian ramah kepada Rianti. Selaksa bermimpi.
Rianti sudah satu bulan lebih tidak keluar rumah setelah pulang dari rumah
bidan usai melahirkan. Umak melarangnya keluar rumah. Melarangnya bekerja. Dan
banyak lagi larangan lainnya. Rianti hanya menurut. Baginya terlalu baik Umak
untuk dilukai hatinya.
Di
Belitung mempunyai budaya selamatan empat puluh empat hari. Kadang-kadang disebut
juga sebagai selamatan lepas pantang. Selamatan ini merupakan acara yang
diselenggarakan oleh keluarga yang baru melahirkan bayi. Diselenggarakan pada
hari ke empat puluh empat setelah kelahiran. Disebut sebagai selamatan lepas
pantang karena selama empat puluh empat hari sebelumnya biasanya akan
diberlakukan beberapa pantangan bagi ibu yang baru melahirkan dan bayinya.
Seperti tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bekerja sama sekali. Hanya boleh
tidur atau beristirahat dan duduk. Tempat pembaringannya didesain sedemikian
rupa untuk memudahkan Rianti berbaring dan bangkit. Sebuah Kasur dibentangkan
di atas sehelai tikar. Di bagian kepala akan disusun bantal-bantal sehingga
posisi Rianti berbaring setengah duduk. Di atas pembaringan pada langit-langitnya
diikatkan sebuat tali yang berjuntai hingga dapat diraih dan digunakan Rianti
sebagai alat untuk mempermudah bangkit dari pembaringan.
Selama
empat puluh empat hari akan diberikan makanan yang kebanyakan diolah dengan
cara merebus tanpa cabai. Tidak diberikan makanan yang memungkinkan timbul
gatal dan diare atau gangguan lainnya. Beberapa bahkan melarang makan telur
atau jenis ikan tertentu. Bak seorang putri makanan akan diantar hingga di sisi
pembaringan Rianti. Sehingga Rianti tidak perlu meninggalkan pembaringan.
Rianti cukup bergeser dan memindahkan kedua kakinya untuk bersimpuh. Rianti sangat
diperhatikan dan dijaga, seperti ibu-ibu pasca melahirkan lainnya di pulai ini.
Budaya
ini cukup bagus jika dipandang dari sudut kepedulian keluarga terhadap ibu yang
usai melahirkan akan tetapi di sisi lain ada beberapa hal yang kurang tepat
seperti mobilitas ibu usai melahirkan yang semestinya diterapkan untuk
mempercepat pemulihan, gizi ibu usai melahirkan yang seharusnya tidak perlu
diberikan pantangan sehingga makan lebih lahap dan produksi ASI berlimpah serta
kesehatan ibu menjadi lebih sehat. Dan tentang personal hygine yang terkadang
kurang terjaga karena ibu dikondisikan untuk banyak berbaring sehingga jarang
ke kamar mandi untuk membersihkan organ reproduksinya. Belum lagi adanya
larangan keluar sebelum empat puluh empat hari. Hal ini sering berseberangan
dengan hak bayi untuk mendapatkan imunisasi segera sesudah lahir sehingga
menjadikan bayi harus menunda mengunjungi Posyandu sebagai akses terdekat
layanan kesehatan.
Seiring
berjalannya waktu dengan edukasi dari para petugas kesehatan, norma ini
berangsur dapat bersinergi dan saling menyesuaikan antara budaya, kaidah
kesehatan dan kebijakan pemerintah yang berlaku.
“Makan dulu Rianti”Seorang
wanita paruh baya menegur Rianti dan mengangsurkan sebuah nampan berisi makanan
lengkap. Satu piring nasi putih dengan satu ekor ikan goreng dan satu mangkok
sayur selabor, salah satu jenis sayur yang sering disajikan pada hari-hari
mendekati pesta. Sayuran ini berisi daun katuk, potongan ubi jalar, kacang
panjang, ketimun, aneka sea food seperti udang dan kerang yang kuahnya hanya
berbumbu tiga macam saja, yaitu cabai, terasi dan garam. Rasanya sangat gurih
dan segar.
“Ayo dimakan. Sudah selesai
berpantangmu, Rianti” Bibinya Rozak seperti menjawab keraguan Rianti yang
tertegun memandang lauk pauk yang tersaji tidak seperti hari-hari kemarin. Rianti
tersenyum dan menerima nampan dari tangan Bibi Rum. Air Matanya nyaris jatuh.
Mendapati semua orang begitu perhatian dan mendukungnya. Betapa Bibi Rum
membuang muka saat pertama melihat kehadiran Rianti di rumah Umak.
“Maafkan bibi, Rianti”
Seperti mendengar suara hati Rianti, Bibi Rum meraih tubuh Rianti ke dalam
pelukannya.
Sekonyong-konyong dari
pintu kamar menghambur ke dalam beberapa ibu-ibu muda menghampiri Rianti.
“Selamat ya, Rianti.
Anaknya sehat dan lucu.”Salah seorang di antaranya menyalami Rianti, mengangsurkan sebuah amplop diikuti ibu-ibu
yang lainnya. Mereka tetangga dekat. Biasanya tetangga dekat akan menemui
pemilik acara sehari atau dua tiga hari sebelum
pesta dan memberikan amplop sumbangan alakadarnya. Mereka setiap hari
akan datang menolong dan makan bersama keluarganya di rumah pemilik acara.
Rianti tak mengatakan apa-apa, terkesima mendapatkan semuanya. Hingga mereka
keluar kamar Rianti baru terjaga dan terbata-bata mengucapkan terimakasih.
***
Alunan musik orgen tunggal menghiasi suasana pesta. Aneka sajian memenuhi
meja-meja. Tekwan, empek-empek, somay, bakso ikan khas Belitung,ada juga sajian
nasi lauk lengkap dengan kuah gangan, yang merupakan salah satu jenis masakan
Belitung dengan bumbu kunyit mirip lempah kuning di budaya melayu. Tak
ketinggalan aneka minuman mulai dari es bubur dawet khas Belitung dilengkapi tape
singkong, es teh dan es krim ala-ala. Di salah satu meja tersaji satu nampan
besar berisi jajanan ala Belitung seperti, dudul, wajit, cucur, dadar gulung
juga jungkong, yang terbuat dari tepung dengan gula merah berada dibagian
bawah. Rasanya manis dan gurih.
Para
tamu silih berganti datang memberikan ucapan selamat pada Rianti dan Rozak yang
berdiri dengan bayi mungil dalam gendongannya. Wajah Rianti berseri-seri. Hidupnya
serasa sangat lengkap. Rianti sangat bahagia mampu memberikan seorang putra bagi
Rozak. Alhamdulillah Allah mengabulkan doa mereka ingin memiliki seorang putra.
Mereka sudah memiliki dua bocah perempuan yang berdiri di sisi Rianti
melengkapi barisan penyambut tamu. Nisha dan Cicih. Keduanya berkali-kali
saling memandang dan tersenyum. Mereka menikmati jalannya pesta. Sejak usai
sholat dhuhur keduanya sudah duduk menanti di kamar Rianti. Menanti untuk di
make up, seperti kebanyakan anak-anak lain jika keluarganya menyelenggarakan
pesta.
Tiba-tiba
dari balik kerumunan tetamu seorang lelaki bertubuh tegap merangsak masuk.
Rianti tercekat. spontan tangannya tegang mencengkeram lengan Rozak. Cicih dan
Nisha menghambur bersembunyi di belakang Rozak. Para tetamu tertegun mendengar
pekik ketakutan Rianti. Sontak semua mata tertuju pada mereka. Lelaki tegap itu
terus melangkah tak hiraukan apapun. Tangannya sigap meraih tangan Rozak.
“Terimakasih, kamu sudah mau menjadi ayah yang baik bagi Cicih anakku. Jaga
mereka. Maafkan aku telah merepotkan kalian” Suara itu datar. Hanya sesaat
kemudian bergegas meninggalkan pesta. Rozakpun belum sempat berkata apa-apa. Rianti
limbung.
Seroja
menebar pesona bagi pemuja nan tulus
tinggalkan
perih pada luka yang tercabik tiada henti
camar
biru terbang tanpa tepian meraba batas yang tiada kira
usai
sudah cinta, hanyut sudah cita
SEKIAN
Dia adalah Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb seorang bidan yang memiliki hasrat besar menulis. Semasa sekolah menengah sering berkirim puisi di majalah lokal. Namun sekarang terkendala dengan kesibukannya sebagai ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung. Dia memilki seorang suami dan dua orang putra. Terlahir sebagai putri pertama pasangan bapak dan ibu guru di sebuah desa kecil di Kabupaten Purworejo. Usai mengikuti Program Pendidikan Bidan Aisyiyah di Yogyakarta, awal tahun 1992 hijrah menunaikan konsekwensi menjadi bidan di pulau nan eksotik, Belitung. Mimpinya terus melambung untuk menjadi penulis, hingga saat ini. Bahkan kiprahnya di persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah sering dijadikan objek sebagai pelepas hasrat menulis. Dan berkat inisiasi sahabatnya dia sudah memiliki 2 Buku Antologi Cerpen Bersama Tim Tinta Aksara. Bila ingin mengenal tulisannya lebih dekat bisa melalui blog yang dirilisnya sejak 2015.
Di : https://dafirastory.blogspot.com/2022/05/html