BENDERA
oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Surjana termangu, tumpukan bendera masih menggunung. Gundahnya memuncak. Kerut keningnya semakin berlipat. Mencoba berpikir lebih keras. Apa yang harus dilakukan. Besok sudah tanggal 17 Agustus, bagaimana caranya agar bendera-bendera itu habis terjual. Surjana lekas beristighfar menepis gundah.
Surjana tekun membuka lapaknya dari pagi hingga petang. Sesekali dia menutupnya sesaat sebelum adzan. Bergegas melangkah ke sebuah masjid yang tidak jauh dari tempatnya berjualan. Usai Sholat Surjana akan membuka dagangannya kembali. Surjana bahkan makan siang di tempat itu. Dengan menu makan siangnya yang nyaris selalu sama. Nasi Putih, tempe atau tahu goreng. Sesekali telur dadar yang hanya berbumbu garam. Bagi Surjana tekadnya mencari rizki untuk keluarga, rupiah demi rupiah dikumpulkan untuk bisa dibawa pulang.
Tahun-tahun lalu Surjana selalu mangkal di sini. Di salah satu sisi pelataran sebuah gedung tua yang setiap sore halamannya dipadati oleh pengunjung aneka kuliner dan muda-mudi yang sekedar duduk-duduk di tangga-tangga yang sengaja dibuat oleh Pemerintah Daerah setempat untuk sarana umum dan rekreasi. Sesekali di pagi atau siang hari halaman gedung yang luas itu digunakan untuk berlatih atau tampil sekelompok Drumband sekolah menengah. Nyaris tak pernah sepi aktifitas.
Meski selalu ramai tetap saja lapak Surjana sepi pengunjung di tahun ini. Mungkin karena kian banyak orang-orang yang membuka lapak sejenis. Menjual bendera.
Surjana lelaki empat puluh enam tahun yang biasa disapa Kang Jana merantau dari pulau jawa ke pulau eksotik Belitung untuk berjualan bendera. Di kampung halamannya Garut, sedang menanti seorang istri dengan tiga orang anaknya dengan sepetak kebun yang tak seberapa. Penghasilan kebun lebih sering tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga. Seorang teman mengabarkan tentang Pulau Belitung empat tahun yang lalu dan membuatnya bergegas menjemput rizki. Mereka bersama menumpang sebuah kapal. Menurut penuturan temannya yang sudah lebih dulu ke Belitung, menjanjikan untuk berdagang. Masyarakat Belitung memiliki penghasilan yang cukup stabil. Dari mulai petani sayuran, petani karet dan sawit, nelayan, Aparat Sipil Negara, buruh pabrik tambang kaolin dan masih banyak lagi yang lainnya. Konon yang berdagang tidak sepi pengunjung. Cerita-cerita itu memotivasi Surjana untuk mengadu nasib ke Belitung. Dan ternyata tak sedikit teman-teman Surjana yang mengadu nasib dengan cara yang sama. Beberapa ada yang berjualan kasur dan bantal, bunga anggrek bahkan sampai bunga plastik. Mereka memikulnya berjalan dari kampung ke kampung. Dari pagi hingga petang. Dengan penghasilan tidak menentu. Kadang laris habis dan kadang tiga hari atau lebih membawa keliling dagangan yang sama.
Surjana memilih berjualan bendera karena sesuai dengan waktu kedatangannya waktu itu, awal Bulan Agustus. Dalam benak Surjana bakal laris karena pada Bulan Agustus setiap rumah kantor ruangan dan kapal-kapal nelayan akan memasang bendera dan sebagian akan membeli bendera yang baru. Tidak melesat perkiraan Surjana. Tahun pertama berjualan bendera Surjana meraup untung yang cukup lumayan dan sebelum tanggal 17 Agustus waktu itu, Surjana sudah melenggang pulang.
Hal itu berulang pada tahun berikutnya setiap setelah perayaan kemerdekaan Surjana kembali pulang ke kampung halaman dengan membawa penghasilannya berjualan bendera. Untuk kemudian Surjana akan mengulanginya kembali di tahun depan.
Sore ini, jangankan memikirkan apa yang akan dijual sebagai ganti menjual bendera. Memikirkan cara menghabiskan sisa bendera-bendera saja Surjana sudah sangat pusing. Sebetulnya sudah sejak tiba dua minggu yang lalu Surjana sudah merasa pesimis melihat para pelapak yang memenuhi tempat mangkalnya bertahun-tahun. Terlalu banyak. Tapi Surjana meyakinkan diri karena seluruh modal sudah dibelikan bendera. Dan berkeyakinan bahwa Allah yang memiliki seluruh semesta dan isinya.
Surjana mulai menghitung-hitung sisa uangnya, semakin tertunduk setelah menemukan angka-angkanya. Paling lama hanya untuk tinggal dua sampai tiga hari lagi karena dia harus menyisakan untuk ongkos pulang ke Garut.
Adzan Sholat Ashar sebentar lagi berkumandang. Surjana bergegas melangkah meninggalkan lapaknya menuju Masjid. Langkah lebarnya segera melambat di serambi masjid. Melepas sandal bututnya menuju kamar mandi masjid. Di depan pintu kamar mandi masjid ada beberapa pasang sandal, Surjana mengambilnya sepasang untuk masuk ke kamar mandi lantas keluar melanjutkan berwudhu di salah satu deretan kran. Surjana duduk di depan salah satu kran air wudhu dan membukanya. Memulai berwudhu dengan lantunan doa berwudhu. Penuh khusyu. Takut tak sempurna hingga menciderai sholatnya. Bagi Surjana sholat adalah hiburan yang selalu dinantinya. Setiap gerakan dan bacaan sholat adalah jamuan bagi Surjana. Saat terindah ia mengadu, meminta dan berharap pada pemilik segala yang di langit dan di bumi.
Usai salam lisannya berdzikir sejenak. Kedua tangannya diangkat setinggi dada. Semua yang ada di benak tumpah mengalir. Surjana selalu bersemangat sepulang dari masjid. Laksana lampu yang baru diganti baterai.
Surjana baru memasang sandal kanannya ketika seorang bapak berpakaian Aparat Sipil Negara menepuk bahu menyapanya,
"Kang Jana ya ?"
"Betul bapak." dalam herannya Surjana mendekat dan mengulurkan kedua tangannya untuk bersalamam. Sejenak Surjana memandangi bapak yang menyambut kedua tangannya.
"Bapak Akbar bukan ? bapak yang dua tahun lalu memborong bendera saya. Apa kabar bapak ?" Surjana menyambut sapaan Akbar dengan sopan dan senyuman yang lebar.
"Alhamdulillah kabar baik. Kang Jana apa kabar. Waah, sebentar lagi sudah mau pulang kampung ya kang" jawab Akbar lanjut bertanya.
Keduanya berkenalan dua tahun yang lalu dan sempat mengobrol panjang lebar. Akbar tipe orang yang tulus sehingga ketika mengobrolpun mampu mengingat dengan baik karena bukan sekedar berbasa - basi. Waktu itu Surjana sempat menceritakan kebiasaannya dan keluarganya yang ditinggalkan di Garut. Termasuk jadwal pulang jualan bendera setiap tahunnya.
"Alhamdulillah saya sehat-sehat saja. Rencana dua atau tiga hari lagi kemungkinan saya akan pulang ke Garut" Jawab Surjana. Suaranya agak melemah. Tak kuasa menyembunyikan kegundahannya meskipun masih tetap tersenyum.
"Alhamdulillah, saya ikut senang mendengarnya. Dagangan habis dong kang, kalau tiga hari lagi sudah mau pulang. Padahal kalau masih ada barang kami ada kebutuhan mendadak untuk perhelatan besar di kabupaten ini."kata Akbar. Kemudian Akbar sekilas menceritakan bahwa Kabupaten Belitung akan kedatangan tamu negara dari 20 negara pada September yang akan datang. Perhelatan yang dikenal dengan Pertemuan setingkat menteri atau G20 Presidensi Indonesia pada tanggl 7 September 2022 sampai dengan 9 September 2022.
"Oh, kalau barang saya masih ada lumayan banyak. Bapak perlu berapa kira-kira, yang ukuran berapa?" sahut Surjana bersemangat.
"Begitu ya kang. Alhamdulillah. Berjodoh kita. Kalau begitu saya bisa melihat barangnya sekarang ya kang. Biar sekalian saja Kang Jana ikut motor saya kembali ke lapak."
"Baiklah. Terimakasih bapak. Mari,"Surjana bergegas naik di belakang Akbar. Pikirannya berkecamuk penuh dengan berbagai asumsi. Yang paling dominan adalah rasa syukur yang membuncah. Di saat-saat terakhir kegelisahannya Allah menjawabnya dengan penuh cinta. Hanya sejenak saja sepeda motor Akbar sudah tiba di lapak Surjana.
Dengan bersemangat Surjana membuka kembali tumpukan bendera, mulai menghitung dan memilah sesuai ukuran bendera. Masih ada juga umbul-umbul. Yaitu bendera beraneka warna yang dipasang memanjang ke atas dan meruncing pada ujungnya. Biasa dipasang untuk memeriahkan suasana serta menarik perhatian. Umbul-umbul digunakan dalam budaya tradisional Jawa dan Bali, Indonesia dimana pemasangan umbul-umbul tersebut dilakukan jika ada kegiatan besar.
"Bagaimana kang, masih berapa ? tanya Akbar.
"Yang ukuran 120 cm x 180 cm saya perlu 30 lembar kang, kemudian yang untuk di kapal ukuran 100 cm x 150 cm saya ambil 50 lembar ya kang" tambah Akbar memberikan rincian.
"Baik. Saya siapkan bapak. Insyaa Allah barang masih ada"Suryana terus bertakbir dalam diam. Tiba-tiba pelupuk matanya terasa pedih, Surjana menunduk menyembunyikan air matanya dengan menyibukkan menyusun pesanan Akbar.
"Ini yang untuk kapal masih kurang 20 lembar. Tapi saya masih menyimpan di rumah sewa. Bagaimana menurut bapak"ujar Surjana sopan.
"Kalau Kang Jana tidak keberatan kita selesaikan sore ini. Kita bisa sama-sama ke sana dengan sepeda motor. Nanti sekalian kita singgah di ATM kang" sahut Akbar
"Baik. Dengan senang hati. Apakah bapak tidak keberatan menunggu saya berkemas barang-barang saya ?"
"Ya saya tunggu nggak apa-apa kang"jawab Akbar.
Hanya beberapa menit Surjana berkemas. Surjana mengikat bungkusan bendera dengan tali kain yang biasa ia gunakan. Lantas bergegas menuju motor Akbar. Menuju pulang. Tak hentinya bertasbih bertahmid dan bertakbir atas kebesaran dan cinta Allah yang dikirimkan sore ini
Tidak jauh letak rumah sewa yang ditinggali Surjana dan teman-temannya. Masih sepi. Sebagian belum kembali dari pekerjaannya. Waktu masih menunjukkan pukul 15.40 Wib.
"Silakan duduk di sini, saya akan menyiapkan sisa bendera yang masih kurang. Nanti kita hitung kembali bersama-sama bapak." Surjana mempersilakan Akbar duduk dengan menyodorkan kursi plastik di teras kecil rumah sewa.
"Baik. Silakan kang"jawab Akbar.
Dua bungkusan bendera dengan dua ukuran berbeda sudah selesai disiapkan. Akbar mengangsurkan sejumlah uang kepada Surjana.
"Silakan, Kang Jana hitung kembali"
"Sudah. Saya sudah memperhatikan saat bapak menghitung tadi," jawab Surjana sambil menerima lembaran uang dari Akbar.
"Saya sangat berterima kasih, karena bapak sudah memborong kembali bendera-bendera saya"ujar Surjana kembali.
Akbar meninggalkan Surjana dengan tersenyum. Dan Surjana berdiri melambai menatap kepergian Akbar seperti menatap seorang malaikat yang khusus dikirimkan Allah untuknya. Air Matanya mengalir tak terbendung. Bergegas melangkah ke kamarnya. Hanya satu yang ada di benaknnya ingin segera berkemas-kemas untuk segera pulang ke Garut. Menyampaikan titipan Allah untuk keluarganya.
SEKIAN
Dia adalah Wahyu Heany Prismawati,
AM.Keb seorang bidan yang memiliki hasrat besar menulis. Semasa sekolah
menengah sering berkirim puisi di majalah lokal. Namun
sekarang terkendala dengan kesibukannya sebagai ASN di Dinas
Kesehatan Kabupaten Belitung. Dia memilki seorang suami dan dua orang putra. Terlahir sebagai putri pertama pasangan
bapak dan ibu guru di sebuah desa kecil di Kabupaten Purworejo. Usai
mengikuti Program Pendidikan Bidan Aisyiyah di Yogyakarta, awal tahun 1992
hijrah menunaikan konsekwensi menjadi bidan di pulau nan eksotik, Belitung.
Mimpinya terus melambung untuk menjadi penulis, hingga saat ini. Bahkan
kiprahnya di persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah sering dijadikan objek
sebagai pelepas hasrat menulis. Dan berkat inisiasi sahabatnya dia
sudah memiliki 5 Buku Antologi Cerpen dan Puisi Bersama Tim Tinta Aksara , Komunitas Roemah Penulis dan PMA. Bila ingin
mengenal tulisannya lebih dekat bisa berkunjung melalui blog yang dirilisnya sejak
2015.
Di
: https://dafirastory.blogspot.com/2022/05/html