GADIS DI AMBANG PETANG
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Nampak jelas
kulihat jemari tangannya bergetar, mengusap air mata yg membanjiri wajahnya.
Aku semakin gelisah karena nyaris sepuluh menit berlalu hanya itu yang
dilakukan gadis dihadapanku. “Katakan sesuatu pada ibu nak, ibu sudah siap mendengarkan”
ujarku setelah tigabelas menit tangisnya mereda. “Tarik nafas panjang,
tenangkan dirimu nak, tak ada masalah yang tak dapat diselesaikan” sambungku
menenangkan. Tiba-tiba ia meraih tanganku dan membawa ke perutnya diiringi
tangis yang kembali meledak. “Saya,,saya,,” hanya itu yang bisa keluar dari
kedua bibir gadis dihadapku selebihnya sesunggukan yang membuatku pilu.
“Oke ibu sudah mulai mengerti nak, sekarang kau dengarkan dengan
baik ibu bertanya”
“Kamu ingin mengatakan pada ibu, bahwa kamu hamil nak ?”
“Atau kamu hanya takut akan hamil karena kamu sudah melakukan
sesuatu”
Gadis dihadapanku menganggukkan kepala. A ku belum sepenuhnya paham
dengan makna anggukan itu. “Kamu ingin ibu memeriksanya ?”
Gadis itu kembali menganggukan kepala. Kuraih kedua tangannya.
“Baik, mari ibu akan memeriksa keadaanmu, minum dulu ayo biar lebih tenang”
ujarku.
Tangannya meraih salah satu gelas minuman kemasan yang berderet
diatas mejaku. Kemudian meminumnya beberapa teguk.
Aku membiarkannya beberapa saat. Lantas aku mulai prosedur
pemeriksaan. Kuraih tangannya kupasangkan manset di lengan atasnya dan mulai
memompa tensi meter. Mengukur tekanan darah. “Bagus nak, mari ibu akan mengukur
lingkar lenganmu, kamu biasa menggunakan lengan yang kanan atau kiri dalam berkegiatan
?” “Kanan” dia hanya menjawab pendek.
Aku meletakkan meteran kain setelah mendapatkan angka ukuran lingkar
lengan atasnya dan melanjutkan membawanya ke sebuah timbangan badan yang ada di
ujung ruangan, lantas kulanjutkan mengukur tinggi badannya. Sekilas kulihat
wajahnya memerah dan kedua mata indahnya agak bengkak karena terlalu lama
menangis.
“Mari berbaring di sini, ibu akan memeriksa perutmu”
“Ibu boleh membuka dadamu nak?”
Gadis itu tak menjawab tapi kedua tangannya bergegas membuka kancing
baju atasnya. Aku meliat kedua payudaranya penuh dengan kedua puting yang
nampak menonjol dan berwarna gelap. Kulanjutkan dengan memeriksa perutnya. Kuletakkan
kedua telapak tanganku perlahan diatas perutnya meraba, fundus uterinya nyaris
mencapai pusat. Aku mengukurnya dengan meteran kain. Hatiku bergetar. Kucoba
menepis gugupku dengan meraih doppler dan menghidupkannya, menempelkan di area
deteksi denyut jantung janin.
“Suara apa itu ibu” gadis itu tiba-tiba memegang tangan kiriku setelah mendengar degup jantung janin dari dopllerku.
“Itu suara denyut jantung
bayi yang ada dirahimmu, nak”. Mendadak dia memiringkan badannya, menghadap ke
dinding ruanganku dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya menahan pekik.
Kemudian tangisnya kembali pecah. Aku menghentikan pemeriksaan. Kubiarkan dia
beberapa saat. Aku tahu dia memerlukan waktu untuk menerima semua ini. Aku
kembali duduk di kursiku. Menuliskan hasil pemeriksaan yang sudah kulakukan
pada buku merah jambu. Masih banyak yang mesti aku tuliskan disitu. Dia masih
belum bisa dianamnesa untuk mengambil data yang lain. Masih banyak waktu. Aku
akan melengkapinya bila tiba waktunya dia siap untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaanku yang lain.
***
Sore yang
basah, kesegaran menebar diseluruh pekarangan. Beberapa kuntum mawarku tampak
berayun ditimpa tetesan air sisa hujan dari tepian atap. Aroma tanah basah
bercampur wangi mawar disudut terasku menyeruak. Menebar sebuah sensasi. Aku
menghirupnya dalam dan menikmati soreku. Lamunku terhenti oleh sebuah suara
salam yang pernah kukenal. Aku mengangkat wajahku sambil menjawab salam dan
kutemukan sepasang muda-mudi berdiri di terasku “Waalaikum salam, hai apa kabar
ayo masuk sini” sambutku sambil meraih pundaknya. Gadis diambang petang yang
sebulan lalu menangis di mejaku. Dia datang bersama seorang lelaki yang juga
masih belia. Tangannya menenteng sebuah tas kain bermotif bunga-bunga kecil.
Dibibirnya ada seulas senyum yang aku tak bisa memaknainya. Keduanya lantas
duduk di kursi dihadapan meja kerjaku. “Bagaimana sehatkah ? lama tak ada kabar
setelah sore itu. Kalian tinggal dimana?”
Keduanya saling melempar senyum. Mungkin karena aku bertubi – tubi memberikan pertanyaan. Sesaat kami sama-sama tertawa. Tawa hambar.
Gadis itu mengeluarkan sebuah buku dari tas kain yang dibawanya. Ternyata buku Kesehatan Ibu dan Anak yang pernah kuberikan padanya sebulan yang lalu. Dia menyodorkannya kearahku. Kulihat sedikit lusuh, mungkin dia sering membacanya. Atau kusut karena buku itu disembunyi dengan tidak rapi sehingga nampak sedikit rusak, seperti bekas digulung dan terlipat disana sini. Aku menghentikan penilaianku. Gantinya aku memujinya “Alhamdulillah, kamu masih menyimpan buku ini, pasti sudah kau baca semua isinya ya”
Gadis itu tersenyum. “Baiklah, ibu waktu itu belum mengisi seluruhnya, mari kita lengkapi” ujarku. “Sudah ibu saya sudah isi yang bisa saya isi”
“waah, bagus itu. Mari ibu lihat.”kataku sembali membuka lembarnya satu persatu. Ternyata benar, gadis itu sudah mengisi lembar identitas dan mencoba mengisi amanat persalinan meskipun belum lengkap.
Aku mulai
melakukan prosedur pemeriksaan seperti biasanya, memulai anamnesa untuk
mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk melengkapi Buku KIA, melakukan
pemeriksaan dan menentukan diagnosa kebidanan, mencatatkan seluruh hasil
pemeriksaan dan menyampaikan kesimpulan hasil pemeriksaan untuk berbagai
langkah yang harus dilakukan seorang ibu hamil. “Kamu dan bayimu dalam keadaan
sehat nak,” “Apakah ada yang ingin kau ceritakan pada ibu ?”
“Saya ingin melahirkan nanti ditolong ibu, bolehkah ibu?”suaranya
terdengar cukup stabil. Aku berkesimpulan dia mulai bisa menerima keadaannya. “Boleh,
nanti didampingi suami ya, supaya lebih semangat”pesanku. “Baik ibu”sahut
pemuda di sampingnya.
“Ini tablet tambah darah harus diminum tiap hati ya, wajib bagi ibu hamil mengkonsumsi 90
tablet selama masa kehamilan”
***
Aku tertegun pada
jasad rebah di hadapanku, anganku melayang tak terkendali. Mencoba mencari
makna dari setiap penggalan perjalanan ini. Perempuan sebayaku duduk di dekat
kepala jenazah. Tangannya sesekali menyeka air mata dan mengelus kepala jenazah
yang terbujur di hadapannya. Tak sanggup mengutuk diri, semua sudah berlalu dan
harus seperti itu. Catatan Tuhan. Tak seorangpun mampu mengelak. Kupegang
pundaknya kirimkan sugesti. “Kami baik – baik saja bu bidan. Kami ikhlas dia
pulang. Semoga Allah mengampuni semua dosa. Kami sudah memaafkan sopir angkot
itu ibu, dia punya keluarga seperti kita. Mereka sekeluarga langsung datang ke rumah
ini. Dan kami sudah memaafkan. Air mataku mulai turun. Kuraih tubuhnya dan
kupeluk erat dalam isakku. Betapa mulia hatimu. Gadis belia berpulang. Selamat jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar