Rabu, 06 Juli 2022

 




MAAFKAN IBAS

Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb   

 

      Baskoro mencium tangan Ibunya berulang kali, matanya mencari cari sesuatu di raut ibunya. Ada kesedihan dan amarah yang membaur. Baskoro meraih tubuh mungil dihadapannya, lantas membenamkan dalam pelukannya “Ibu, maafkan Ibas. Ibas berjanji akan meninggalkannya untuk Ibu”. Wanita yang dipanggil ibu itu masih tak bergeming. Air matanya masih mengalir. Baskoro melonggarkan pelukannya, Kembali meraih tangan ibunya menciumnya berulang kali antara punggung dan telapak tangan. “Ibu tolong maafkan Ibas, ibu jangan seperti ini. Ibas tak kuasa melihat kesedihan ibu.”

      Senin siang nan cerah. Ibas berjanji dalam hati itu air mata terakhir ibu untukku. “Aku tak kan pernah melakukannya lagi. Aku akan menggantinya dengan seulas senyum yang teduh yang sebelumnya selalu menghias wajah ibu.” Ibas melangkah keluar, menghidupkan sepeda motornya bergegas menuju sebuah cafetaria. Tak semestinya Ibas merusak siang itu dengan tragedi. Tapi bagi Ibas apapun akan dilakukan untuk ibu. Ibas sangat mencintai ibunya. “Ibas tak ingin melangkah tanpa ridhomu ibu.” kalimat yang sering ia ucapkan ketika melihat wajah ibunya berubah. “Masih banyak perempuan lain di luar sana, Ibas akan mendapatkannya yang lebih baik. Ibas yakin dengan doa-doa ibu.”

      Cafetaria bernuansa klasik di depan sana. Ibas menghentikan laju sepeda motornya dan memarkirkan di tempat biasa. Ini cafetaria yang sering mereka berdua kunjungi. Berjanji bertemu makan siang di jam kantor atau janji ketemu di lain acara. Selalu di sini. Meja yang sama. Menu yang sama. Dan di meja itu telah duduk perempuan yang sama. Yang selama ini menemaninya makan siang atau sekedar minum kopi. “Hai, tumben telat datang sayang, kenapa?” perempuan itu menyambut Ibas dengan, manja. Segera berdiri lantas bergayut manja di lengan kokoh Ibas. Diantara yang memberatkan seorang laki-laki meninggalkan seorang perempuan adalah sifat manja dan rengeknya. Tapi tekad Ibas sudah bulat. Bayang sendu wajah ibunya menari di pelupuk mata. “Iya, tadi ada kerjaan yang harus selesai. Maaf ya,” Ibas menjawab datar. Perlahan Ibas menepis lengannya dari perempuan itu. “Ada apa sayang” dengan tatapan tajam perempuan itu mencari jawaban di mata Ibas. Nalurinya menangkap gelagat buruk. “Oke kita makan dulu kemudian bicara ya” Ujar Ibas dengan senyum datar.

      Menu yang enam bulan terakhir biasa mereka pesan dan nikmati menjadi tak seperti biasa, hambar. Keduanya tak sanggup menyelesaikannya. Perempuan itu kembali mendesak. “Katakan sesuatu padaku sayang, aku tak sanggup menunggu” rengek perempuan itu. Ibas menarik nafas panjang dan berkata “Sebelumnya tolong maafkan aku. Aku tak dapat melanjutkan hubungan ini. Aku terlalu menyayangi ibuku. Kamu tahu bukan, selama ini ibuku tak merestui hubungan ini. Aku yakin ada jodoh kita di luar sana yang lebih baik untuk kita. Sekali lagi maafkan aku," "Aku tak ingin menunda menyudahi hubungan ini. Ibuku terlalu berharga untukku. Ibuku sudah tua aku tak tak tahu berapa lama lagi ibu menyertaiku dan mendoakan perjalananku di depan sana. Aku juga tak tahu kapan Allah memanggilku pulang dan memisahkanku dari ibuku. Aku tak ingin menorehkan luka lagi di saat masih ada waktu bersama ibuku. Kita selesai sampai di sini. Aku yakin ada lelaki diluar sana yang lebih tepat dan telah Allah pilihkan untukmu.”

      Perempuan di hadapan Ibas tersedu lirih. Air matanya berhambur basahi wajahnya. Perempuan itu seperti mendapatkan boom waktu. Sebuah peristiwa yang sering ia bayangkan bakal terjadi, sejak mengetahui ibunya Ibas tidak memberi restu. Dan bom waktu itu ternyata meledak hari ini. Baginya itu lebih baik karena kalau terlalu lama akan menorehkan luka yang jauh lebih dalam. “Baiklah, aku mengerti. Meskipun berat untukku, aku juga tak ingin melukai perasaan ibumu. Ibu yang melahirkan, merawatmu dan memperjuangkan hidupmu hingga kamu sampai dititik ini.” Ujar perempuan itu dalam isak. Ibas melempar pandangannya ke luar taman. Rona kamboja jepang yang berbaris seperti kaku memandanginya. Seperti paham dengan peristiwa siang ini. Murai Batu yang biasa lantang berkicau terdiam. Keindahan sekitar menjadi sirna.  “Mungkin kita akan lama tidak saling bertemu, mengendapkan seluruh rasa agar kita terbiasa dalam perubahan ini, aku harap kamu mengerti” “Aku akan pindah bertugas di tempat yang baru. Mari kita salaing mendoakan, menyelesaikan perjalanan ini di jalan yang tidak sama. Meraih kebahagiaan masing-masing dengan cara yang berbeda. Sekali lagi maafkan aku, maafkan ibuku” ujar Ibas mantap. Dipandangnya perempuan dihadapannya dengan datar. Bagi Ibas cinta ini telah usai. “Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalananku kemarin” ujar Ibas lagi. “Mari kuantar kembali ke kantor.” Tawar Ibas. Perempuan itu mencoba tersenyum. “Tidak terimakasih, tapi aku sudah memesan taksi pulang ke rumah, aku tak mungkin melanjutkan pekerjaanku dengan kondisi seperti ini” tukas perempuan itu, bibirnya mencoba membentuk senyum tapi kaku.

      Ibas menunggu sampai taksi itu berlalu. Ada yang hilang ketika taksi itu melaju dan tak tampak lagi di telan rimbun bunga ilalang taman. Ada segores pedih dihatinya. “Ah, aku akan terbiasa. Aku pernah melewatkannya ketika aku berpisah dengan Dania karena keluarganya dan berpisah dengan Yuma karena realita. Yuma harus ada di samping ibunya karena anak perempuan semata wayang dan aku harus pulang bekerja di kampung halaman dan dekat bersama ibuku. Semua ini hanya masalah waktu. Aku akan memperjuangkan semuanya untuk cinta ibuku.” Tekad Ibas.

      Sesaat kemudian Ibas menghidupkan sepeda motornya menuju pulang. Ibas ingin cepat-cepat bertemu ibunya. Seperti baru menyelesaikan sepaket marathon dada Ibas bergemuruh sepanjang perjalanan pulang. Berbaur segenap rasa. Ada kesedihan sekaligus  kelegaan merambat di jiwanya. “Tugasku sudah usai. Aku tak boleh menoleh ke belakang lagi. Cinta perempuan itu hanya cinta jelata. Cinta ibuku lebih mulia.” batin Ibas bersuara meningkahi kesedihan dan kelegaan yang berbagi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...