MAAFKAN IBAS
Oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Baskoro mencium tangan Ibunya berulang
kali, matanya mencari cari sesuatu di raut ibunya. Ada kesedihan dan amarah
yang membaur. Baskoro meraih tubuh mungil dihadapannya, lantas membenamkan
dalam pelukannya “Ibu, maafkan Ibas. Ibas berjanji akan meninggalkannya untuk
Ibu”. Wanita yang dipanggil ibu itu masih tak bergeming. Air matanya masih
mengalir. Baskoro melonggarkan pelukannya, Kembali meraih tangan ibunya
menciumnya berulang kali antara punggung dan telapak tangan. “Ibu tolong
maafkan Ibas, ibu jangan seperti ini. Ibas tak kuasa melihat kesedihan ibu.”
Senin siang nan cerah. Ibas berjanji
dalam hati itu air mata terakhir ibu untukku. “Aku tak kan pernah melakukannya
lagi. Aku akan menggantinya dengan seulas senyum yang teduh yang sebelumnya
selalu menghias wajah ibu.” Ibas melangkah keluar, menghidupkan sepeda motornya
bergegas menuju sebuah cafetaria. Tak semestinya Ibas merusak siang itu dengan
tragedi. Tapi bagi Ibas apapun akan dilakukan untuk ibu. Ibas sangat mencintai
ibunya. “Ibas tak ingin melangkah tanpa ridhomu ibu.” kalimat yang sering ia
ucapkan ketika melihat wajah ibunya berubah. “Masih banyak perempuan lain di
luar sana, Ibas akan mendapatkannya yang lebih baik. Ibas yakin dengan doa-doa
ibu.”
Cafetaria bernuansa klasik di depan sana.
Ibas menghentikan laju sepeda motornya dan memarkirkan di tempat biasa. Ini
cafetaria yang sering mereka berdua kunjungi. Berjanji bertemu makan siang di
jam kantor atau janji ketemu di lain acara. Selalu di sini. Meja yang sama.
Menu yang sama. Dan di meja itu telah duduk perempuan yang sama. Yang selama
ini menemaninya makan siang atau sekedar minum kopi. “Hai, tumben telat datang
sayang, kenapa?” perempuan itu menyambut Ibas dengan, manja. Segera berdiri
lantas bergayut manja di lengan kokoh Ibas. Diantara yang memberatkan seorang
laki-laki meninggalkan seorang perempuan adalah sifat manja dan rengeknya. Tapi
tekad Ibas sudah bulat. Bayang sendu wajah ibunya menari di pelupuk mata. “Iya,
tadi ada kerjaan yang harus selesai. Maaf ya,” Ibas menjawab datar. Perlahan
Ibas menepis lengannya dari perempuan itu. “Ada apa sayang” dengan tatapan
tajam perempuan itu mencari jawaban di mata Ibas. Nalurinya menangkap gelagat
buruk. “Oke kita makan dulu kemudian bicara ya” Ujar Ibas dengan senyum datar.
Menu yang enam bulan terakhir biasa
mereka pesan dan nikmati menjadi tak seperti biasa, hambar. Keduanya tak
sanggup menyelesaikannya. Perempuan itu kembali mendesak. “Katakan sesuatu
padaku sayang, aku tak sanggup menunggu” rengek perempuan itu. Ibas menarik
nafas panjang dan berkata “Sebelumnya tolong maafkan aku. Aku tak dapat
melanjutkan hubungan ini. Aku terlalu menyayangi ibuku. Kamu tahu bukan, selama
ini ibuku tak merestui hubungan ini. Aku yakin ada jodoh kita di luar sana yang
lebih baik untuk kita. Sekali lagi maafkan aku," "Aku tak ingin
menunda menyudahi hubungan ini. Ibuku terlalu berharga untukku. Ibuku sudah tua
aku tak tak tahu berapa lama lagi ibu menyertaiku dan mendoakan perjalananku di
depan sana. Aku juga tak tahu kapan Allah memanggilku pulang dan memisahkanku
dari ibuku. Aku tak ingin menorehkan luka lagi di saat masih ada waktu bersama
ibuku. Kita selesai sampai di sini. Aku yakin ada lelaki diluar sana yang lebih
tepat dan telah Allah pilihkan untukmu.”
Perempuan di hadapan Ibas tersedu lirih.
Air matanya berhambur basahi wajahnya. Perempuan itu seperti mendapatkan boom
waktu. Sebuah peristiwa yang sering ia bayangkan bakal terjadi, sejak
mengetahui ibunya Ibas tidak memberi restu. Dan bom waktu itu ternyata meledak
hari ini. Baginya itu lebih baik karena kalau terlalu lama akan menorehkan luka
yang jauh lebih dalam. “Baiklah, aku mengerti. Meskipun berat untukku, aku juga
tak ingin melukai perasaan ibumu. Ibu yang melahirkan, merawatmu dan
memperjuangkan hidupmu hingga kamu sampai dititik ini.” Ujar perempuan itu
dalam isak. Ibas melempar pandangannya ke luar taman. Rona kamboja jepang yang
berbaris seperti kaku memandanginya. Seperti paham dengan peristiwa siang ini. Murai
Batu yang biasa lantang berkicau terdiam. Keindahan sekitar menjadi sirna. “Mungkin kita akan lama tidak saling bertemu,
mengendapkan seluruh rasa agar kita terbiasa dalam perubahan ini, aku harap
kamu mengerti” “Aku akan pindah bertugas di tempat yang baru. Mari kita salaing
mendoakan, menyelesaikan perjalanan ini di jalan yang tidak sama. Meraih
kebahagiaan masing-masing dengan cara yang berbeda. Sekali lagi maafkan aku,
maafkan ibuku” ujar Ibas mantap. Dipandangnya perempuan dihadapannya dengan datar.
Bagi Ibas cinta ini telah usai. “Terima kasih telah menjadi bagian dari
perjalananku kemarin” ujar Ibas lagi. “Mari kuantar kembali ke kantor.” Tawar
Ibas. Perempuan itu mencoba tersenyum. “Tidak terimakasih, tapi aku sudah
memesan taksi pulang ke rumah, aku tak mungkin melanjutkan pekerjaanku dengan
kondisi seperti ini” tukas perempuan itu, bibirnya mencoba membentuk senyum
tapi kaku.
Ibas menunggu sampai taksi itu berlalu.
Ada yang hilang ketika taksi itu melaju dan tak tampak lagi di telan rimbun
bunga ilalang taman. Ada segores pedih dihatinya. “Ah, aku akan terbiasa. Aku
pernah melewatkannya ketika aku berpisah dengan Dania karena keluarganya dan
berpisah dengan Yuma karena realita. Yuma harus ada di samping ibunya karena
anak perempuan semata wayang dan aku harus pulang bekerja di kampung halaman
dan dekat bersama ibuku. Semua ini hanya masalah waktu. Aku akan memperjuangkan
semuanya untuk cinta ibuku.” Tekad Ibas.
Sesaat kemudian Ibas menghidupkan sepeda
motornya menuju pulang. Ibas ingin cepat-cepat bertemu ibunya. Seperti baru
menyelesaikan sepaket marathon dada Ibas bergemuruh sepanjang perjalanan
pulang. Berbaur segenap rasa. Ada kesedihan sekaligus kelegaan merambat di jiwanya. “Tugasku sudah
usai. Aku tak boleh menoleh ke belakang lagi. Cinta perempuan itu hanya cinta
jelata. Cinta ibuku lebih mulia.” batin Ibas bersuara meningkahi kesedihan dan
kelegaan yang berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar