Rabu, 06 Juli 2022

 





KETIKA AISYAH BERBOHONG

oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb

Aisyah masih terpekur duduk di depan pintu kamar ibu yang tertutup rapat dengan ketakutan, wajahnya memucat, sesekali jemarinya gemetar mengetuk ulang daun pintu di depannya. “Ibu, maafkan Aisyah ibu, tolong ibu. Ibu buka pintunya ibu, Aisyah mau salim dan peluk ibu” entah yang keberapa kalinya Aisyah mengulang – ulang kalimat itu. Sesekali telinganya dirapatkan pada daun pintu dihadapannya mencoba mencari suara ibunya, menerka – nerka apa yang sedang ibu lakukan di dalam sana.

            Aisyah gelisah, bingung, sedih dan merasa bersalah dan berbagai perasaan lainnya berkecamuk menjadi satu. Aisyah merasa kehilangan separo rasa. Ketakutan akan ibu yang tak menjawab panggilannya, penyesalan karena mengetahui ibu yang bersedih bahkan mungkin marah karenanya. Bingung harus berbuat apa hingga Aisyah hanya bisa menunggu di balik pintu sambil sesekali mengetuk dan berbicara dengan kalimat- kalimat yang hampir sama.

            Sejatinya Aisyah tidak bermaksud berbohong pada ibu, Aisyah hanya ingin ibunya tidak terlalu kelelahan. Aisyah berbohong pada ibu bahwa para pelanggan cuci ibu hanya menghendaki ibu menyetrika saja. Aisyah terlalu sayang pada ibunya. Aisyah ingin sekali membantu ibu. Aisyah tahu seandainya berterus terang pasti ibu tidak akan menyetujuinya.

            Setiap pagi sebelum ke sekolah Aisyah terlebih dahulu singgah di rumah pelanggan cuci ibu. Aisyah berbohong pada ibu bahwa kelas dimajukan 2 jam dari jadwal normal karena ada pelajaran tambahan. Dengan demikian Aisyah bisa berangkat lebih awal. Dua jam itulah yang dipergunakan Aisyah untuk mencuci dari rumah pelanggan satu ke  rumah pelanggan lainnya dan bahkan beberapa pelanggan dikerjakan sepulang sekolah. Para pelanggan itu tidak keberatan. Bahkan mereka mau diajak bekerja sama menyimpan rahasia ini. Pulang sekolah Aisyah akan singgah mengambil pakaian kering hasil cuciannya dan membawanya pulang untuk diseterika. Beberapa minggu berlangsung tanpa ada kecurigaan ibu. Ibu sangat senang ketika Aisyah mengatakan bahwa “Para pelanggan ibu hanya meminta ibu menyeterika tetapi dengan upah yang tetap sama meskipun tidak mencuci.” “Ibu cukup di rumah menunggu pakaian bersih yang akan disetrika saja karena Aisyah yang akan mengambilnya sepulang sekolah.” Tentu saja ibu sangat senang bahkan berkali- kali berpesan kepada Aisyah “Jangan lupa nak sampaikan terimakasih ibu kepada meraka ya, “  Dan Aisyah selalu mengiyakan sembari berlalu, khawatir raut bohongnya terbaca ibu.

            Hingga pagi itu ibu berbelanja ke warung membeli keperluan sehari – hari bertemu dengan Mak Yek. Teman pengajian ibu yang aktif juga di Dasa wisma. “Waaah, Ibu Nur apa kabar. Kita lama ya nggak taklim. Kapan ya, rasanya rindu tausyiyah para ustadz ya bu,” Tangan Mak Yek sibuk memilih sayuran dan celotehnya lagi. “Ibu Nur ini memang terbaik deh, gimana sih Bu Nur mengajari Aisyah, Ya Allah senengnya punya anak gadis sholekhah, pintar dan punya adab yang baik seperti dia.” Seperti biasa Mak Yek terus berceloteh di depan ibu tanpa memberi kesempatan ibu berbicara. Ibu hanya tersenyum saja. “Ayo Bu Nur kalau punya tips dibagi-bagi dong.”  “Anak gadis kebanyakan seumuran Aisyah mana mau dari rumah ke rumah bekerja mencuci,” Ibu terpana mendengar celoteh Mak Yek yang terakhir. “Aisyah mencuci ?” batinnya bertanya. “Aisyah anak yang sangat berbhakti ya bu, pulang sekolah anak-anak sekarang biasanya nongkrong ya, atau sibuk dengan gadget. Ee Aisyah masih mau bantu ibunya mencuci. Aduuh siapa yaa, nanti bakal mertuanya. Senengnyaa Ya Allah” Masih sambil tersenyum ibu pamit duluan dengan Mak Yek. Tangan kirinya menenteng seplastik belanjaan, Melenggang pulang dengan kepala penuh tanda tanya, sepotong kesal terbersit karena Aisyah telah berbohong selama ini.

            Sampai di rumah ibu bergegas memasak tumis kangkung dan menggoreng ikan. Menata di meja makan dan menutupnya dengan tudung saji. Tangannya meraih sapu dan membersihkan lantai rumah dan menyusun beberapa pigura yang terpajang di meja. Pekerjaan yang selalu di ulang – ulang dilakukan setiap hari. Membersihkan pigura-pigura itu agar tidak berdebu. Menatapnya berlama-lama pada setiap foto didalamnya.

Lelaki gagah dalam pigura pertama adalah sosok terkasih yang selalu memiliki tempat di hatinya. Suami sekaligus ayah Aisyah. Lelaki hebat dimatanya. Bijaksana dan sangat mencintai keluarganya. Arman. Almarhum adalah pekerja keras. Cerdas dan santun. Semua deras mengalir di jiwa putri tunggalnya Aisyah. “Orang baik Allah lebih sayang,” begitu setiap orang yang mendengar kabar Arman meninggal mendadak karena kecelakaan kerja di pabrik. Siapa yang menyangka Arman bakal pulang begitu cepat. Di usia 35 tahun, Aisyah saja baru berhenti menyusu. Keluarga kecil yang sedang di puncak kebahagiaan. Ibu melanjutkan dengan membersihkan pigura kedua, sesosok bayi cantik dalam gendongan ayahnya, wajah Arman nanpak sangat berbahagia, senyum mengembang, tubuh gagahnya seakan melindungi bayi cantik dalam dekapannya. Seperti biasa ibu meraih pigura terakhir. Potret sepasang kekasih yang duduk di pelaminan. Masih terlihat rona merah tersipu di wajah ibu. Dengan seikat bunga mawar plastic di tangannya. Anggun tubuhnya dibalut kebaya putih berhias renda – renda indah dibeberapa bagiannya. Kerudung putih tulang melengkapi penampilannya dan menjadikannya semakin mempesona. Di sebelahnya duduk sesosok pria, Arman. Dengan Jas warna gelap, kemeja putih menyembul didalamnya membuat Arman semakin gagah. Sungguh sepasang pengantin yang sempurna. “Maafkan aku mas, anak kita telah berbohong, aku bahkan tak pernah mengajarkannya” batin ibu tangannya mengusap sosok gagah dalam pigura. Kesedihan ibu membungkus wajah hingga laksana ada mendung bergayut disana. “Aku selalu ingat pesan  mas agar mendidik anak kita senantiasa jujur “ “Maafkan aku mas” batin ibu terus berbicara. Sesaat kemudian Ibu terjaga dari lamunan panjangnya begitu terdengar langkah-langkah kaki memasuki teras rumah sambil bersenandung kecil. “Assalaamualaikum ibuku sayang,“ “Waalaikum salam”jawab ibu sambil bergegas masuk ke kamar. “Ibuu tunggu Aisyah belum salim” “Ibu tidak suka dengan bohong”gumam ibu sambil menutup pintu kamar. Meninggalkan Aisyah yang terpana menatap ibu berkelebat memasuki kamar dan mengunci pintu.

***

            Entah sudah berapa lama Aisyah tertidur di depan pintu kamar ibu. Lelah dan kantuk membuatnya tertidur dalam duduk, Sebagian tubuhnya menempel di daun pintu kamar ibu. Adzan Maghrib sudah berkumandang sehingga ibu harus keluar untuk berwudhu dan sholat. Hatinya teriris melihat putri kesayangannya tertidur dalam posisi seperti itu. Ibu mengusap air matanya yang mengalir membanjiri wajahnya. Lara membayangkan putrinya mencuci pakaian pelanggan. Betapa melelahkan. Banyak rasa berkecamuk dalam batin ibu. Tak tega menyakiti anak kesayangannya seketika ibu hendak mengulurkan tangan mengusap wajah Aisyah sesaat itu pula Aisyah terbangun karena merasa sedang dipandangi wajahnya. “Ibuuuuu, “ Aisyah menghambur ke pelukan ibunya. Sesaat kemudian sibuk mencari – cari tangan ibunya. Berulang kali Aisyah mencium telapak tangan dan punggung tangan ibunya. Sambil terus mengucapkan permintaan maaf. Dipeluknya tubuh ibu dan membenamkan dirinya hingga tangis keduanya kembali meledak. “Ibu jangan pernah marah sama Aisyah, tak seorangpun Aisyah miliki di dunia ini selain ibu, Aisyah takut kehilangan ibu” “Aisyah ingin ke surga Bersama ibu dan ayah bila waktunya tiba” “Aisyah tak ingin menyakiti ibu” “Aisyah hanya ingin ibu tetap sehat Bahagia Bersama Aisyah.”  Ibu tak mampu mengatakan apapun. Tangannya dengan penuh kasih membelai Aisyah lantas memeluknya kembali. “Kita sholat dulu nak, sesudah itu ibu ingin berbicara”

***

Suara lantunan Ayat Suci Alquran memenuhi rumah Aisyah, berdua mereka selalu melakukannya, sesudah sholat maghrib dan sesudah sholat subuh. Mereka tak pernah meninggalkan kebiasaan baiknya. Hingga kejadian tadi membuatnya saling terluka. Aisyah sangat khawatir jika ibu marah selamanya. “Ibu, maafkan Aisyah ya” ulangnya kembali sambil menutup Alquran di tangannya. “Aisyah, “ kata ibu memulai percakapan. “Pernahkah ibu mengajarmu berbohong ?” “Berbohong itu pangkal mula kejahatan nak,” “Aisyah sudah remaja, sudah sering membaca kisah-kisah baik yang bisa di contoh untuk diteladani sekaligus kisah – kisah buruk yang harus ditinggalkan.” “Ibu sangat sedih dan kecewa, mendapatkanmu berbohong nak, sekalipun itu bermaksud baik.” “Jangan pernah kau ulangi nak, kebohongan itu akan menjadi sesuatu yang wajar ketika kamu melakukannya berulang – ulang” “Tak akan ada lagi rasa bersalah yang hinggap, lantas akan bertahap dengan kejahatan – kejahatan lainnya yang lebih besar” “Aisyah, ayahmu sangat mengagungkan kejujuran. Semua orang yang mengenal ayahmu mengenangnya sebagai orang baik” “Jangan pernah kamu menodainya nak.” “Ayo kita makan, ibu sudah memasak tumis kangkong kesukaanmu dengan ikan goreng.”

Keduanya beranjak mendekati ruang makan, berdua duduk di meja makan dengan hidangan sederhana. Kebahagiaan menyelimuti keduanya. Aisyah kembali meraih tangan ibunya “Terimakasih ibu, sudah melahirkanku, merawatku, menjagaku dan menyayangiku selama ini. Aisyah berjanji akan menjadi wanita yang baik seperti yang ayah dan ibu doakan selama ini. Teruslah Bersama Aisyah jangan pernah Lelah mendoakan Aisyah ya bu” Ibu tersenyum meraih putri kesayangannya ke dalam pelukannya. “Kalau ibu boleh tahu kenapa kau lakukan itu Aisyah, sementara kau harus sekolah dan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang tidak sedikit” “Kalau ingin membantu ibu kita bisa bahas nak bersama-sama” Aisyah hanya tersenyum.

Sesaat kemudian keduanya menikmati sajian malam dengan sesekali bercerita. Dua hamba Allah yang senantiasa bersyukur akan apa yang menjadi bagiannya. Perjalanan hidup yang harus dilalui. Rizki yang sudah menjadi bagian diri, semua diterima dengan keikhlasan. Semua itu menjadikan keduanya saling mahfum terhadap ketetapan, adab dan akhlaq yang harus dipegang teguh serta konsekwensi ketika sebuah pelanggaran terjadi. Selalu ada kata maaf diantara cinta yang bertabur, selalu ada cinta diantara keikhlasan.

 

                                                                        Belitung, 15 April 2022

1 komentar:

PERIH oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb  Gelisahku kutitipkan kepada untaian bintang di langit malam  kerlipnya menepis gundah seperti t...