KETIKA
AISYAH BERBOHONG
oleh : Wahyu Heany Prismawati, AM.Keb
Aisyah
masih terpekur duduk di depan pintu kamar ibu yang tertutup rapat dengan
ketakutan, wajahnya memucat, sesekali jemarinya gemetar mengetuk ulang daun
pintu di depannya. “Ibu, maafkan Aisyah ibu, tolong ibu. Ibu buka pintunya ibu,
Aisyah mau salim dan peluk ibu” entah yang keberapa kalinya Aisyah mengulang –
ulang kalimat itu. Sesekali telinganya dirapatkan pada daun pintu dihadapannya
mencoba mencari suara ibunya, menerka – nerka apa yang sedang ibu lakukan di
dalam sana.
Aisyah gelisah, bingung, sedih dan merasa bersalah dan
berbagai perasaan lainnya berkecamuk menjadi satu. Aisyah merasa kehilangan
separo rasa. Ketakutan akan ibu yang tak menjawab panggilannya, penyesalan
karena mengetahui ibu yang bersedih bahkan mungkin marah karenanya. Bingung
harus berbuat apa hingga Aisyah hanya bisa menunggu di balik pintu sambil
sesekali mengetuk dan berbicara dengan kalimat- kalimat yang hampir sama.
Sejatinya Aisyah tidak bermaksud berbohong pada ibu,
Aisyah hanya ingin ibunya tidak terlalu kelelahan. Aisyah berbohong pada ibu
bahwa para pelanggan cuci ibu hanya menghendaki ibu menyetrika saja. Aisyah
terlalu sayang pada ibunya. Aisyah ingin sekali membantu ibu. Aisyah tahu
seandainya berterus terang pasti ibu tidak akan menyetujuinya.
Setiap pagi sebelum ke sekolah Aisyah terlebih dahulu
singgah di rumah pelanggan cuci ibu. Aisyah berbohong pada ibu bahwa kelas
dimajukan 2 jam dari jadwal normal karena ada pelajaran tambahan. Dengan
demikian Aisyah bisa berangkat lebih awal. Dua jam itulah yang dipergunakan
Aisyah untuk mencuci dari rumah pelanggan satu ke rumah pelanggan lainnya dan bahkan beberapa
pelanggan dikerjakan sepulang sekolah. Para pelanggan itu tidak keberatan.
Bahkan mereka mau diajak bekerja sama menyimpan rahasia ini. Pulang sekolah
Aisyah akan singgah mengambil pakaian kering hasil cuciannya dan membawanya
pulang untuk diseterika. Beberapa minggu berlangsung tanpa ada kecurigaan ibu.
Ibu sangat senang ketika Aisyah mengatakan bahwa “Para pelanggan ibu hanya meminta
ibu menyeterika tetapi dengan upah yang tetap sama meskipun tidak mencuci.” “Ibu
cukup di rumah menunggu pakaian bersih yang akan disetrika saja karena Aisyah
yang akan mengambilnya sepulang sekolah.” Tentu saja ibu sangat senang bahkan
berkali- kali berpesan kepada Aisyah “Jangan lupa nak sampaikan terimakasih ibu
kepada meraka ya, “ Dan Aisyah selalu
mengiyakan sembari berlalu, khawatir raut bohongnya terbaca ibu.
Hingga pagi itu ibu berbelanja ke warung membeli
keperluan sehari – hari bertemu dengan Mak Yek. Teman pengajian ibu yang aktif
juga di Dasa wisma. “Waaah, Ibu Nur apa kabar. Kita lama ya nggak taklim. Kapan
ya, rasanya rindu tausyiyah para ustadz ya bu,” Tangan Mak Yek sibuk memilih
sayuran dan celotehnya lagi. “Ibu Nur ini memang terbaik deh, gimana sih Bu Nur
mengajari Aisyah, Ya Allah senengnya punya anak gadis sholekhah, pintar dan
punya adab yang baik seperti dia.” Seperti biasa Mak Yek terus berceloteh di
depan ibu tanpa memberi kesempatan ibu berbicara. Ibu hanya tersenyum saja.
“Ayo Bu Nur kalau punya tips dibagi-bagi dong.”
“Anak gadis kebanyakan seumuran Aisyah mana mau dari rumah ke rumah
bekerja mencuci,” Ibu terpana mendengar celoteh Mak Yek yang terakhir. “Aisyah
mencuci ?” batinnya bertanya. “Aisyah anak yang sangat berbhakti ya bu, pulang
sekolah anak-anak sekarang biasanya nongkrong ya, atau sibuk dengan gadget. Ee
Aisyah masih mau bantu ibunya mencuci. Aduuh siapa yaa, nanti bakal mertuanya.
Senengnyaa Ya Allah” Masih sambil tersenyum ibu pamit duluan dengan Mak Yek.
Tangan kirinya menenteng seplastik belanjaan, Melenggang pulang dengan kepala
penuh tanda tanya, sepotong kesal terbersit karena Aisyah telah berbohong
selama ini.
Sampai di rumah ibu bergegas memasak tumis kangkung dan
menggoreng ikan. Menata di meja makan dan menutupnya dengan tudung saji. Tangannya
meraih sapu dan membersihkan lantai rumah dan menyusun beberapa pigura yang
terpajang di meja. Pekerjaan yang selalu di ulang – ulang dilakukan setiap
hari. Membersihkan pigura-pigura itu agar tidak berdebu. Menatapnya
berlama-lama pada setiap foto didalamnya.
Lelaki
gagah dalam pigura pertama adalah sosok terkasih yang selalu memiliki tempat di
hatinya. Suami sekaligus ayah Aisyah. Lelaki hebat dimatanya. Bijaksana dan
sangat mencintai keluarganya. Arman. Almarhum adalah pekerja keras. Cerdas dan
santun. Semua deras mengalir di jiwa putri tunggalnya Aisyah. “Orang baik Allah
lebih sayang,” begitu setiap orang yang mendengar kabar Arman meninggal
mendadak karena kecelakaan kerja di pabrik. Siapa yang menyangka Arman bakal
pulang begitu cepat. Di usia 35 tahun, Aisyah saja baru berhenti menyusu.
Keluarga kecil yang sedang di puncak kebahagiaan. Ibu melanjutkan dengan
membersihkan pigura kedua, sesosok bayi cantik dalam gendongan ayahnya, wajah
Arman nanpak sangat berbahagia, senyum mengembang, tubuh gagahnya seakan
melindungi bayi cantik dalam dekapannya. Seperti biasa ibu meraih pigura
terakhir. Potret sepasang kekasih yang duduk di pelaminan. Masih terlihat rona
merah tersipu di wajah ibu. Dengan seikat bunga mawar plastic di tangannya.
Anggun tubuhnya dibalut kebaya putih berhias renda – renda indah dibeberapa
bagiannya. Kerudung putih tulang melengkapi penampilannya dan menjadikannya
semakin mempesona. Di sebelahnya duduk sesosok pria, Arman. Dengan Jas warna gelap,
kemeja putih menyembul didalamnya membuat Arman semakin gagah. Sungguh sepasang
pengantin yang sempurna. “Maafkan aku mas, anak kita telah berbohong, aku
bahkan tak pernah mengajarkannya” batin ibu tangannya mengusap sosok gagah
dalam pigura. Kesedihan ibu membungkus wajah hingga laksana ada mendung
bergayut disana. “Aku selalu ingat pesan
mas agar mendidik anak kita senantiasa jujur “ “Maafkan aku mas” batin
ibu terus berbicara. Sesaat kemudian Ibu terjaga dari lamunan panjangnya begitu
terdengar langkah-langkah kaki memasuki teras rumah sambil bersenandung kecil.
“Assalaamualaikum ibuku sayang,“ “Waalaikum salam”jawab ibu sambil bergegas
masuk ke kamar. “Ibuu tunggu Aisyah belum salim” “Ibu tidak suka dengan
bohong”gumam ibu sambil menutup pintu kamar. Meninggalkan Aisyah yang terpana
menatap ibu berkelebat memasuki kamar dan mengunci pintu.
***
Entah sudah berapa lama Aisyah tertidur di depan pintu
kamar ibu. Lelah dan kantuk membuatnya tertidur dalam duduk, Sebagian tubuhnya
menempel di daun pintu kamar ibu. Adzan Maghrib sudah berkumandang sehingga ibu
harus keluar untuk berwudhu dan sholat. Hatinya teriris melihat putri
kesayangannya tertidur dalam posisi seperti itu. Ibu mengusap air matanya yang
mengalir membanjiri wajahnya. Lara membayangkan putrinya mencuci pakaian
pelanggan. Betapa melelahkan. Banyak rasa berkecamuk dalam batin ibu. Tak tega
menyakiti anak kesayangannya seketika ibu hendak mengulurkan tangan mengusap
wajah Aisyah sesaat itu pula Aisyah terbangun karena merasa sedang dipandangi
wajahnya. “Ibuuuuu, “ Aisyah menghambur ke pelukan ibunya. Sesaat kemudian
sibuk mencari – cari tangan ibunya. Berulang kali Aisyah mencium telapak tangan
dan punggung tangan ibunya. Sambil terus mengucapkan permintaan maaf. Dipeluknya
tubuh ibu dan membenamkan dirinya hingga tangis keduanya kembali meledak. “Ibu
jangan pernah marah sama Aisyah, tak seorangpun Aisyah miliki di dunia ini
selain ibu, Aisyah takut kehilangan ibu” “Aisyah ingin ke surga Bersama ibu dan
ayah bila waktunya tiba” “Aisyah tak ingin menyakiti ibu” “Aisyah hanya ingin
ibu tetap sehat Bahagia Bersama Aisyah.”
Ibu tak mampu mengatakan apapun. Tangannya dengan penuh kasih membelai
Aisyah lantas memeluknya kembali. “Kita sholat dulu nak, sesudah itu ibu ingin
berbicara”
***
Suara
lantunan Ayat Suci Alquran memenuhi rumah Aisyah, berdua mereka selalu
melakukannya, sesudah sholat maghrib dan sesudah sholat subuh. Mereka tak
pernah meninggalkan kebiasaan baiknya. Hingga kejadian tadi membuatnya saling
terluka. Aisyah sangat khawatir jika ibu marah selamanya. “Ibu, maafkan Aisyah
ya” ulangnya kembali sambil menutup Alquran di tangannya. “Aisyah, “ kata ibu
memulai percakapan. “Pernahkah ibu mengajarmu berbohong ?” “Berbohong itu
pangkal mula kejahatan nak,” “Aisyah sudah remaja, sudah sering membaca
kisah-kisah baik yang bisa di contoh untuk diteladani sekaligus kisah – kisah
buruk yang harus ditinggalkan.” “Ibu sangat sedih dan kecewa, mendapatkanmu
berbohong nak, sekalipun itu bermaksud baik.” “Jangan pernah kau ulangi nak,
kebohongan itu akan menjadi sesuatu yang wajar ketika kamu melakukannya
berulang – ulang” “Tak akan ada lagi rasa bersalah yang hinggap, lantas akan
bertahap dengan kejahatan – kejahatan lainnya yang lebih besar” “Aisyah, ayahmu
sangat mengagungkan kejujuran. Semua orang yang mengenal ayahmu mengenangnya
sebagai orang baik” “Jangan pernah kamu menodainya nak.” “Ayo kita makan, ibu
sudah memasak tumis kangkong kesukaanmu dengan ikan goreng.”
Keduanya
beranjak mendekati ruang makan, berdua duduk di meja makan dengan hidangan
sederhana. Kebahagiaan menyelimuti keduanya. Aisyah kembali meraih tangan
ibunya “Terimakasih ibu, sudah melahirkanku, merawatku, menjagaku dan
menyayangiku selama ini. Aisyah berjanji akan menjadi wanita yang baik seperti
yang ayah dan ibu doakan selama ini. Teruslah Bersama Aisyah jangan pernah
Lelah mendoakan Aisyah ya bu” Ibu tersenyum meraih putri kesayangannya ke dalam
pelukannya. “Kalau ibu boleh tahu kenapa kau lakukan itu Aisyah, sementara kau
harus sekolah dan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang tidak sedikit” “Kalau
ingin membantu ibu kita bisa bahas nak bersama-sama” Aisyah hanya tersenyum.
Sesaat
kemudian keduanya menikmati sajian malam dengan sesekali bercerita. Dua hamba
Allah yang senantiasa bersyukur akan apa yang menjadi bagiannya. Perjalanan
hidup yang harus dilalui. Rizki yang sudah menjadi bagian diri, semua diterima
dengan keikhlasan. Semua itu menjadikan keduanya saling mahfum terhadap
ketetapan, adab dan akhlaq yang harus dipegang teguh serta konsekwensi ketika
sebuah pelanggaran terjadi. Selalu ada kata maaf diantara cinta yang bertabur,
selalu ada cinta diantara keikhlasan.
Belitung,
15 April 2022
Kereen. Salam literasi Bu Wahyu
BalasHapus